Sabtu, 19 Juni 2010

Brawijaya V (Bhre Krtabhumi)




Brawijaya V (Bhre Krtabhumi)

Brawijaya V, sering disebut dengan Brawijaya pamungkas, merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit. Nama Brawijaya hanya dikenal dalam sumber–sumber tradisi seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan Serat Darmogandul. Brawijaya V memerintah 1468–1478, berakhir dengan diserbunya kerajaan Majapahit oleh Raden Patah dari Demak. Runtuhnya kerajaan Majapahit ini ditandai dengan candra sengkala: “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (Telah hilang kejayaan negara). Serat Darmogandul menceritakan akibat serangan itu Brawijaya V terpaksa melarikan diri ke Sengguruh (Tumapel, Singasari, sekarang daerah Malang). Dari Sengguruh, melarikan diri, rencananya ke Bali, namun sesampai di Blambangan (Banyuwangi) pelarian tersebut dapat disusul oleh sunan Kalijaga. Di sini Brawijaya V bersedia untuk masuk Islam setelah berdebat panjang dengan Sunan Kalijaga. Serat Darmogandul meriwayatkan bahwa Sunan Kalijaga dapat membujuk Brawijaya V untuk kembali ke Majapahit, namun dalam persinggahannya di Ampeldenta (Surabaya) beliau meninggal. Raja terakhir Majapahit ini berpesan agar di makamkan di istana Majapahit (Trowulan) di sebelah utara laut buatan (segaran). Cerita legenda menyebutkan bahwa Brawijaya V lari ke Gunung Lawu, meninggal (moksa) di sana setelah diislamkan oleh Sunan Kalijaga. Setelah masuk Islam Brawijaya V terkenal dengan nama Sunan Lawu.
Penelitian sejarah menyebutkan bahwa raja yang memerintah Majapahit dalam periode 1468–1478 adalah Bhre Krtabhumi. Pendapat bahwa kerajaan Majapahit berakhir pada 1478 akibat serbuan dari Demak di dukung oleh Thomas Stanford Raffles (1817) dalam bukunya “The History of Java” dan Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya: “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara–Negara Islam di Nusantara”. Prof. Dr. N.J Krom (1913; Het jaar van den val van Majapahit) dapat menyetujui tahun runtuhnya kerajaan Majapahit, namun beliau tidak sepakat tentang sebab–sebab keruntuhannya. Menurut Prof. Dr. N.J Krom, Majapahit runtuh oleh serangan sebuah kerajaan Hindu dari Kediri yaitu dari dinasti Girindrawardhana yang kemudian meneruskan pemerintahan sampai beberapa lama. Hasan Djafar (2009) dalam bukunya: “Masa Akhir Majapahit” menyebutkan bahwa saat keruntuhan Majapahit pada tahun 1478 harus ditafsirkan sebagai peristiwa perebutan kekuasaan atas tahta kerajaan Majapahit yang dilakukan oleh Girindrawardana Dyah Ranawijaya Bhattara i Klin terhadap Bhre Krtabhumi. Pergeseran politik dan dengan demikian peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak baru terjadi pada tahun 1519, saat Demak diperintah oleh Pati Unus. Pendapat lain mengatakan bahwa serangan Demak (pada zaman Raden Patah) ke Majapahit bukan terhadap Bhre Krtabhumi tetapi terhadap Girindrawardana, sebagai balasan oleh karena Raden Patah adalah anak dari Bhre Krtabhumi.
Serat Darmogandul mewartakan bahwa sebelum wafat, Brawijaya V berpesan kepada putranya Bondan Kejawan (Ki Agung Tarub II) dan menulis surat kepada menantunya Ki Ageng Handayaningrat di Pengging serta anaknya yang lain Adipati Ponorogo untuk tidak menuntut balas kepada Raden Patah. Pertimbangan yang dikemukakan adalah agar tidak terjadi peperangan yang merugikan para prajurit dan rakyat Nusantara. Kepada Sunan Kalijaga Brawijaya V berpesan agar mengasuh anak cucunya, oleh karena kelak yang menjadi raja di Tanah Jawa adalah tetap anak keturunannya.
Bhre Krtabhumi adalah anak dari Rajasawardhana (Bhre Pamotan, Keling, Kahuripan) yang memerintah Majapahit 1451–1453. Silsilah Bhre Krtabhumi dapat dilihat dalam lampiran terlampir.


Sumber:
- Djafar, Hasan; Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahahnya; Komunitas Bambu; 2009.
- Huda, Nurul; Tokoh Antagonis Darmogandul, Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di Penghujung Kekuasaan Majapahit; Pura Pustaka; 2005.
- http://wwww.pasarjava.com

Kamis, 20 Agustus 2009

EDAN "Sebuah Renungan Tentang Kemanusiaan"



EDAN

(Sebuah Renungan Tentang Kemanusiaan)

SOEMARSO SR

PENGANTAR

SEBAGAI pemimpin redaksi Majalah AKUNTANSI pada tahun delapan puluhan, tugas yang harus saya kerjakan adalah membuat tajuk. Dalam majalah itu disebut Topik Renungan. Tugas tersebut saya lakukan sampai majalah yang bersangkutan berhenti terbit sekitar awal tahun sembilan puluhan.

Seperti lazimnya sebuah tajuk, tulisan-tulisan yang terkandung di dalamnya, kebanyakan, merupakan ungkapan tentang kejadian atau peristiwa yang menggejolak pada saat akan terbitnya majalah. Di sebut renungan karena ungkapan-ungkapan itu, pada umumnya, lebih didasarkan pada kata hati. Tanpa berpretensi untuk mengupas secara detail, apalagi ilmiah. Dan, kata hati, memang, pada dasarnya normatif. Serta responsive. Spontanitas merupakan ciri utama. Renungan ingin mengajak pembaca untuk ikut merasakan dan berfikir tentang situasi yang merujuk pada masanya. Tak harus mengemukakan pemecahan.

Walaupun ditulis untuk sebuah majalah yang berpredikat profesi dan secara spesifik menyebut bidang akuntansi, namun ternyata tulisan-tulisan yang muncul tidak hanya yang berbau akuntansi. Tak tahulah mengapa bisa begitu. Mungkin didasarkan atas harapan agar para akuntanpun juga ikut merasakan dan berfikir tentang hal-hal yang bukan akuntansi. Atau, ya memang bahan itu yang muncul pada saat itu. Tak ada masalah akuntansi yang layak direnungkan.

Setelah lewat lebih dari sepuluh tahunan dan tulisan-tulisan yang ada sempat dikumpulkan, ada keinginan yang mendesak untuk menerbitkan kembali kumpulan Topik Renungan tersebut. Sebab, ternyata topik-topik yang terdapat di dalamnya masih cukup relevan untuk masa kini. Atau paling tidak, kumpulan tersebut dapat mengungkap memori apa yang terjadi, terasakan dan terpikirkan pada masa itu. Untuk dijadikan bahan renungan, tentu, untuk masa kini dan, terutama, masa depan.

Kumpulan tulisan dalam buku ini terdiri dari topik-topik renungan yang pernah dipublikasi di Majalah Akuntansi. Hanya ada beberapa yang belum sempat diterbitkan. Dalam buku ini tulisan-tulisan tersebut diterbitkan kembali apa adanya. Tanpa melalui proses revisi atau editing. Tujuannya agar orisinalitas pemikiran sesuai jamannya dapat dipertahankan.

Dalam kesempatan yang baik ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia – Seksi Akuntan Publik (kini Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Publik) yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menangani majalah Akuntansi, dengan mana kreasi telah terdorong dan hasil kreasi tersebut, berupa tulisan-tulisan ini, dapat dimunculkan.

Selamat membaca.

Jakarta, 1 Januari 2002

Soemarso SR


DAFTAR ISI

PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAGIAN SATU: ETIKA DAN KEHIDUPAN

· EDAN

· KEKUASAAN

· SEMAR

· RONGGO WARSITO

· TRENGGONO

· OUCHI

· MORITA

· SHAW

· KARNO

· GOED KOOPMANS GEBRUIK

· PENGAWASAN

· FALSAFAH MAKAN

· PROSES

· ILLICH

BAGIAN DUA: EKONOMI

· PARETO

· MYRDAL

· ROBINHOOD

· BALADA TOFLER dan DRUCKER

· MONOPOLI

· LAISSEZ FAIRE

· TEORI GELOMBANG

· TINGGAL LANDAS

· MODEL

· AGENT OF DEVELOPMENT

· OOO UUU WO

· PAHL

· SEKTOR INFORMAL

· UANG

· MONETASI DESA

· THE EXCHANGE LOSSES

· FLIGHT OF CAPITAL

· SELF ASSESMENT

· DEDE (BUKAN McCALL)

· THE COST OF CAPITAL

· ANAK SINGKONG

· COWBOY

BAGIAN TIGA: MANAGEMENT DAN BISNIS

· INFORMASI

· KETIDAK PASTIAN

· PROSPEK

· WALLSTREET

· ONGKO

· SUN TZU

· CHUNG

· MEIJI

· REVOLUSI NILAI

· HIDUP TANPA JARING

· CRASH 87

· KAMBING

· WIN-WIN APPROACH

· OALAH BUMN

BAGIAN EMPAT: AKUNTANSI

· PROFESIONALISME

· BLINCOE

· SUAP

· STEMPEL

· PEMBINA

· ALOKASI, EFISIENSI DAN KOMPETISI

· FUTURE SHOCK

· POLITIK AKUNTANSI

· MARAKESH



BAGIAN SATU

ETIKA DAN KEHIDUPAN


EDAN

Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Melu edan ora tahan

Yen tan melu anglakoni

Boya keduman melik

Kaliren wekasanipun

Ndilalah kersa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspodo

(Ronggo Warsito; Serat Kolotido)

Ronggo Warsito, pada dasarnya, memang tukang protes. Ketika umur belasan, ia dikirim ayahnya ke Ponorogo, belajar ngaji. Ronggo Warsito kecil, kala itu bernama Bagus Burhan, ternyata tak tahan menekuni Al-Qur’an. Waktunya habis untuk adu ayam. Sang guru pun marah. Bagus Burhan diusir dari pesantren. Ayahnya kalang kabut mencarinya. Dikirimnya seorang utusan. Kromoleyo, menemukan si Bagus. Dengan menyamar, sebagai pengamen jatilan, Kromoleyo berangkat.

Dan protes itu muncul lagi. Ketika Ronggo Warsito telah berpredikat pujangga. Terhadap segala hal. Yang terkenal adalah Serat Kolotido tadi. Manakala Ronggo Warsito menyebutkan kurun waktu itu sebagai jaman edan. Ketika lebih banyak orang tak waras menghuni dunia. Dalam keadaan demikian sungguh sulit menentukan pilihan. Sebab jika tak ikut edan, kelaparanlah akhirnya. Tapi, mau edan juga, … mana tahan!

Saat itu, barangkali, Ronggo Warsito ingin menghojat keadaan. Kebobrokan masyarakat dinilainya telah keterlaluan. Sistem nilai terjungkir balik. Justru di pusat-pusat kekuasaan. Tapi, barangkali juga, ia ingin cerita tentang dirinya. Yang sedang dirundung malang. Baru dijauhi sumber kekuatan. Dan bagus Burhan pun meratap. Akhirnya, jatuh terhempas dalam keputusasaan. Pasrah! Serat Kolotido memang dibuat sebelum Ronggo Warsito diangkat menjadi pujangga keraton.

Tapi, ada yang lebih menarik dari protesnya Ronggo warsito itu. Ternyata jaman edan sudah ada sejak dulu. Pangkal soalnya tak berubah. Masalah pembagian rejeki. Dan kekuasaan. Memang, sisi gelap kekuasaan adalah penyalahgunaan. Ke arah penguasaan rejeki. Seperti kata orang bijak : Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Ada kaitan antara korupsi dan kekuatan politik. Dan, korupsi, tak harus berupa sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sosok lebih hitam korupsi, sebenarnya, adalah penjungkirbalikan sistem nilai. Antara baik dan buruk. Benar dan salah. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh para cerdik cendekia (sarjana dan sujana), Jika demikian adanya, pudarlah sinar negara. Sebab tak ada lagi yang dapat dijadikan panutan (tepo-palupi) seperti kata Ronggo Warsito:

Mangkya dalajating projo

Kawuryan wus sunya ruri

Rurah pangrehing ukoro

Karono tanpo palupi

Atilar silastuti

Sarjana sujana kelu

Kalunglun kolotido

Tidem tandaning dumadi

Adayeng rat dening karoban rubedo

Weber tahu benar kelemahan manusia, jika kekuasaan ada di tangan. Maka diciptakanlah birokrasi. Jika kekuasaan berarti wewenang memutuskan melakukan tindakan. Dan tindakan adalah proses. Maka proses harus dipecah-pecah dalam biro. Masing-masing mencerminkan cuwilan kekuasaan. Dan harus diberikan kepada orang yang berbeda. Weber menciptakan sistem check and balance. Montasqieu menonjok lebih atas lagi. Kekuasaan pun dibagi dalam trias politika. Tujuannya, agar kekuasaan digunakan buat kesejahteraan pemberinya. Rakyat! Montasqieu juga menciptakan sistem check and balance.

Adakah sistem dapat mencegah korupsi? Tak pasti. Sebab, sistem itu dapat dengan mudah dikoyak. Juga oleh kekuasaan. Dan sistem nilai. Seperti plesedan yang diciptakan berikut ini.

Sabegja-begjane kang lali

Luwih begja kang maling lawan waspodo.

(Akuntansi No. 2 – Pebruari 1988)


KEKUASAAN

Betapa sedihnya jadi pemimpin puncak. Apakah itu namanya ketua, kepala, direktur utama atau yang lain lagi. Tidakkah mereka merasa sepi, sendirian? Dengan kekuasaan di tangan? Timbul pertanyaan: “Mana lebih baik, jadi bawahan atau atasan?” Orang bijak akan menjawab: “Jadi bawahan”. Menjadi bawahan, selalu punya kesempatan disalahkan. Ditegur oleh atasan. Ada kesempatan belajar dari kesalahan ini. Seorang bawahan selalu punya tempat untuk berlindung. Atasan? Dialah penentu. Tapi yang sewaktu-waktu diminta pertanggung-jawabannya. Dia dikerumuni banyak orang. Tapi dengan wajah sulit ditebak. Topengkah yang diajukan? Atau asli.

Adakah yang menolak jadi atasan? Tak banyak. Sebab menjadi atasan berarti kekuasaan. Dan kekuasaan sering diartikan kenikmatan. Yang terakhir itulah paling menarik. Sehingga orang berlomba meraihnya. Padahal, memegang kekuasaan, ibarat duduk di singgasana dengan pedang terhunus menggantung di atas kepala.

Menjadi atasan memang tak punya banyak kesempatan untuk arif. Layanan memabukkan dari lingkungan membuat orang lupa arti kekuasaan itu sendiri. Bahwa kekuasaan sebetulnya, adalah beban. Kekuasaan seperti kata Ki Ageng Suyomentaram bukanlah hasrat menguasai orang lain. Tapi justru harus dilandasi pada keinginan mengenakkan orang lain.

Menjadi atasan sering tak punya kesempatan untuk belajar. Sebab tak ada yang menegur bila membuat kesalahan. Padahal, banyak yang dituntut dari padanya. Tak hanya target. Tetapi juga panutan. Sedangkan ia tak lebih dari manusia biasa. Thomas Jefferson, Presiden dan pendiri Amerika Serikat, betapa termashurnya ia. Namun toh tak lepas dari bisik-bisik, bahwa semasa menduda, ia ada main dengan budaknya yang cantik, Sally Hemings.

Menjadi atasan harus mempunyai siasat untuk mengetahui kelemahan diri sendiri. Ia perlu cari jalan untuk tahu, bagaimana pandangan bawahan sebenarnya. Tak boleh jalan konvensionil. Sebab tak akan mendatangkan hasil. Napoleon, konon paling alergi terhadap kritik. Toh ia membiarkan satu koran yang boleh mengkritik dirinya. Oplah koran itu hanya satu eksemplar dan hanya untuk Napoleon sendiri. Bagaimanapun, ia menunjukkan, bahwa ia, Napoleon itu, menginginkan umpan balik dari bayangan dirinya. (Akuntansi No. 26 – September 1986.)


SEMAR

SIAPAKAH Semar? Konon, Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara putra Sang Hyang Tunggal. Raja Dewa, sembahan manusia. Ketika harus memutuskan siapa penggantinya, Sang Hyang Tunggal menyelenggarakan sayembara. Siapa yang dapat menelan dunia dan selamat mengeluarkannya, dialah sang raja. Togog tak sanggup. Bahkan sampai tenggorokan pun tidak. Mulutnya robek. Semar berhasil menelan. Tapi, Masya Allah, dunia itu tak mau keluar. Ngendon di pantat. Akhirnya, Batara Gurulah yang berhasil. Dia penguasa jagad dengan sikap arogannya. Mengamati dan menentukan kehidupan di dunia.

SEMAR, yang nama dewasanya Ismoyo, harus turun ke bumi. Dialah pamong kebaikan dunia. Berbeda dengan Togog, yang ditakdirkan melayani manusia-manusia bejad. Semar, walau dilukiskan berwajah buruk, dia ditakuti. Nasihatnya diikuti. Oleh dewa sekalipun. Dan, kalau Batara Guru, raja dewa itu, sering berbuat khilaf, dalam keputusannya tentang manusia, Semar tidak. Sebab Semar berbaur dengan manusia. Keputusannya didasarkan realitas kehidupan manusia. Tidak atas dasar teropongan jarak jauh dan laporan staf dewa yang semuanya bermukin nun tinggi di sana, puncak Mahameru.

SEMAR bersama anak-anaknya, adalah pelaku utama adegan goro-goro dalam pakem pewayangan. Ini adalah adegan paling fleksibel, di mana suara-suara realitas kehidupan diperdengarkan (yang sekarang banyak diisi pesan sponsor). Dan Semar, selalu bersikap bijaksana. Ocehan realitas kehidupan itu, disimaknya, diendapkan, dan atas dasar daya analisis dewanya, ia membuat kesimpulan dan rekomendasi. Semar adalah pengamat kehidupan dunia yang dekat dengan realitas. Bahkan berbaur dengan realitas itu sendiri.

HIDUP Semar! (Akuntansi No. 4 – April 1987.)


MAHESA JENAR

Mahesa Jenar adalah tokoh dalam buku cerita Nogososro Sabuk Inten. Ia hidup dalam abad 15. Ia adalah pejabat tinggi dalam kesultanan Demak, di bawah Sultan Trenggono. Ketika itu terjadi benturan antara paham Islam abangan (tasawuf), yang salah satu tokohnya adalah Syeh Siti Jenar, dengan Islam pesisiran, yang banyak dianut para Wali. Sultan Trenggono, tergolong sebagai penganut Islam pesisiran, tentu saja. Dan Mahesa Jenar adalah penganut Syeh Siti Jenar. Walaupun tidak secara tegas disebutkan adanya konflik. Namun itulah setidak-tidaknya yang dirasakan oleh Mahesa Jenar. Untuk itu ia meninggalkan kraton. Mengembara.

Secara kebetulan, pada saat itu pusaka kraton Demak, Nogososro dan Sabuk Inten, hilang dari perbendaharaan kraton. Kehilangan pusaka-pusaka ini, yang dianggap sebagai cerminan wahyu kraton, tentu saja membuat kalang kabut pihak istana. Dalam pengembaraannya Mahesa Jenar bertekad untuk menemukan kembali keris-keris itu. Tidak melalui jalur-jalur birokrasi Pemerintah. Usaha yang dilakukan oleh Mahesa Jenar tersebut demikian gigihnya sehingga memperoleh respek, tidak saja dari kalangan istana, tetapi juga dari golongan hitam, yang menjadi musuhnya. Orang menganggap bahwa Mahesa Jenar berjuang tanpa pamrih!

Tetapi, betulkah ia berjuang tanpa pamrih pribadi? Pada salah satu kesempatan, ia dengan jujur, berkata bahwa, ia tidak ingin menyembunyikan adanya pamrih pribadi, dalam usahanya untuk menemukan kembali keris-keris yang hilang. Ia ingin kembali ke istana Demak, sebagai pejabat negara.

Jelekkah orang yang berjuang dengan pamrih pribadi? Kebanyakan orang memang menganggapnya demikian! Sebab itu tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran yang kita anut. Pamrih pribadi hanya terdapat dalam kamus para kapitalis barat. Yang lebih mementingkan individualisme. Itulah sebabnya teori-teori behavioral yang dikembangkan di negara-negara barat selalu mencoba untuk mencari jalan agar pamrih-pamrih pribadi tersebut dapat diidentifikasikan. Teorinya Abraham Maslow, misalnya. Kemudian pamrih-pamrih pribadi tersebut diselaraskan dengan tujuan perusahaan. Maksudnya? Agar para eksekutif dapat berusaha lebih giat lagi. Untuk menaikkan laba per saham. Khas tujuan kapitalis.

Tetapi apa sih sebetulnya pamrih pribadi itu? Kamus Jawa – Inggris (setebal 700 lembar) yang disusun oleh Elinor Clark Horne (Yale University Press, 1974) menterjemahkan sebagai intention, expectation. Kelihatannya kurang tepat. Sebab keinginan (intention) atau harapan (expectation) lebih bersifat sesuatu yang wajar atau normal dalam tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian seseorang yang berpamrih dinilai tidak murni.

Harus lepaskah kita dari pamrih? Atau perlukah pamrih pribadi tersebut dimanfaatkan dalam kebijaksanaan pembangunan, misalnya? Sebab pamrih tidak hanya berlaku pada individu. Ia juga berlaku untuk kelompok, daerah, bahkan nasional sekalipun. Itu berlaku umum di dunia. Setiap kebijaksanaan yang ditelorkan oleh pemerintah manapun, selalau dilandaskan pada pamrih nasional itu tadi. Yang disebut dengan kepentingan nasional. Dipandang dari sudut dunia, pamrih nasional itu akan menjadi pamrih pribadi. Maka yang terjadi adalah “dagang pamrih” di antara negara-negara di dunia. Perlukah dagang pamrih ini disebarluaskan kepada masyarakat? (Akuntansi Volume III, No.14, 1982)


RONGGO WARSITO

Sabeja-bejane wong lali, isih bejo wong sing eling lan waspodo

Ronggo Warsito mungkin seorang yang pemurung. Setidak-tidaknya dalam menghadai kehidupan masa itu. Yang ia lukiskan sebagai zaman edan. Mengikutinya tidak tahan, tetapi apabila tidak mengikuti, tidak akan kebagian. Sikap yang dia ambil diam dan mengamati. Dengan putus asa. Ia tuangkan rasa geram dan tak berdaya itu dalam karya sastranya yang terkenal, serat kalatida. Di dalamnya ia sempat memberikan nasehat di atas. Betapapun beruntungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada, katanya.

Lain halnya dengan sikap Pronocitro. Pemuda jelata itu suatu ketika mencintai Roro Mendut. Wanita ini, sayangnya, juga dikehendaki oleh Tumenggung Wiroguno. Benturan terhadap kemapananpun tidak dapat dihindari. Bayangkan ia menantang seorang tumenggung! Tetapi dalam hal ini Pronocitro kemudian menentukan sikap. Ia lari bersama Roro Mendut. Akibatnya, tentu saja, sudah dapat diduga. Pronocitro dan Roro Mendut harus mati.

Ronggowarsito dan Pronocitro adalah cerminan dari sikap menghadapi keadaan dalam kurun waktu yang berbeda. Kenapa mereka harus bersikap? Untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan catatan, kepentingan bisa diartikan macam-macam.

Setelah diuji sejarah, orang dapat menilai dari sudut yang berbeda atas sikap mereka. Sekarang ini orang mungkin melihat sikap Pronocitro dengan cemooh. Pronocitro adalah seorang nihilis, katanya. Apakah hasil yang ia peroleh dari sikap memegang prinsip yang ia pertahankan? Kematian! Dalam keadaan yang demikian kenapa musti memegang prinsip? Apakah hasil yang ia capai dengan sikapnya itu? Tidak ada! Coba kalau ia bersikap lebih pragmatis. Lebih larut dengan zamannya.

Ronggowarsito dengan kearifan pujangganya dianggap lebih lunak dalam memprotes keadaan. Ia lontarkan kritik, dengan gumaman pada dirinya sendiri. Memberi nasehat. Di bagian lain ia menyanjung pihak yang dikritik. Ia sendiri tidak ikut larut dalam keadaan zamannya.

Tetapi berapa orang yang bisa bersikap seperti Ronggowarsito? Tidak banyak! Biasanya orang cenderung untuk mengikuti zamannya! Bersikap sangat pragmatis dalam menghadapi persoalan. Pragmatis! Inilah sikap yang banyak disenangi orang. Sebab ia membuat pergaulan.

Namun banyak juga orang yang memandang sinis pada sikap yang demikian. Sebab, katanya, sikap pragmatis tak lebih dari pembenaran untuk menyeleweng. Kalau ada orang bilang “Pragmatis sedikit neng”, itu berarti bahwa kita harus mengendorkan ketaatan terhadap prosedur dan aturan-aturan. Ia seolah-olah ajakan untuk menyeleweng.

Kenapa bersikap pragmatis? Sebab orang menganggap bahwa ia baru dapat dikatakan sukses kalau dapat mencapai suatu hasil. Baik dalam bentuk output, produksi, materi atau derajat. Sebab orang menganggap apa yang nyata adalah segalanya. Ketika kebenaran adalah nisbi. Di lain pihak apa pula artinya sikap pahlawan kalau kemudian harus mati? Tanpa hasil! Orang memang akhirnya cenderung mengambil jalan tengah. Mendefinisikan pragmatisme sebagai ketidak sempurnaan yang dibenarkan.

Bagaimanapun bagi profesi akuntan yang sedang berkembang, nasehat Ronggowarsito tersebut di atas mungkin patut direnungkan. Sebab profesi ini sedang memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Terhadap golongan inilah godaan untuk bersikap pragmatis itu biasanya akan datang. Sakit memang, kalau sebelum hasil yang diperoleh dari sikap pragmatis memadai, kita harus sudah berhadapan dengan aparat kontrol yang mendeteksinya. (Akuntansi Volume III No. 13, 1982)


TRENGGONO

TRENGGONO memang bukan Adipati Unus. Raja Demak ketiga ini punya visi sendiri dalam mengemban kekuasaan. Unus, ketika masih Adipati Jepara, berusaha mengusir Portugis dari tanah semenanjung (Malaka). Bersama tentara gabungan Demak, Pasai, Banten dan Tuban. Armada gabungan ini kalah. Karena inferioritas teknologi. Cetbang peninggalan Majapahit tak dapat menandingi meriam Portugis. Bagi Unus, tanah semananjung adalah nadi kehidupan. Juga bagi Nusantara. Maka penjajahan Portugis atas Malaka harus dienyahkan. Unus membangun armada. Sebab penguasaan laut adalah kunci. Dan ia membangun kontak dengan Lao Sam (Lasem) dan Sam Toa Lang (Semarang) tempat pemusatan orang-orang Cina bekas armada Ceng Ho.

TRENGGONO lain. Di hadapan Ratu Aisah, ibundanya, Trenggono berucap: “Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa ke bawah duli kaki Ibunda”. Dan persiapanpun mulai dilakukan. Bukan armada laut yang diperkuat. Tapi, tentara darat. Barisan kuda andalannya. Di bawah komando Fatahilah, Banten digempur. Jayakarta dihancurkan. Di Timur, Trenggono melabrak Juana, Rembang, Tuban dan Pasuruan. Blambangan hampir saja ditundukkan. Kalau tidak keburu mangkat. Akibat penghianatan abdinya. Trenggono tidak melihat Portugis sebagai ancaman.

KISAH apik di atas dapat dibaca dalam buku: “Arus Balik” karya Pramudya Ananta Toer. Epos pasca kejayaan Majapahit itu menceritakan tentang pergeseran arus kekuasaan. Semasa Majapahit, arus bergerak dari Selatan ke Utara. Segalanya mengalir dari Nusantara di Selatan ke “Atas Angin” di Utara; kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya. Nusantara (Majapahit) bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Ketika Majapahit surut, kekuasaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang tak mampu lagi membuat kapal besar. Apalagi ketika titik fokus tidak lagi di laut. Tetapi pindah ke darat. Di lain pihak, bahaya kekuatan asing dari Barat mulai mengintip. Dengan kekuatan laut yang dahsyat. Dengan teknologi militer yang lebih unggul. Kapal-kapal Inggris, Portugis, Spanyol dan Belanda mulai berkeliaran di Pasai, Malaka terus menyusuri Laut Jawa ke Maluku.

TRENGGONO tidak melihat pentingnya penguasaan laut. Ia sibuk dengan penyatuan Jawa. Ia memperbesar kekuasaan darat. Keadaan ini berlanjut dan lebih diperburuk lagi setelah pusat pemerintahan pindah ke pedalaman. Ke Pajang oleh Hadiwidjojo dan kemudian Mataram oleh Senopati. Dan lemahnya penguasaan laut membuat kekuatan asing makin meraja lela. Menguasai daerah demi daerah. Sejarah penjajahan Belanda selama 350 tahun, sebagian, adalah konsekuensi dari strategi pindah ke darat itu.

TETAPI, apakah penjajah di Nusantara akan tiada seandainya strategi Unus yang dipakai? Kita tidak tahu! Banyak faktor penentu keberhasilan suatu strategi. Tak hanya keselarasan visi, misi dan strategi. Unus maupun Trenggono mungkin sama-sama benar. Dibalik impian Trenggono untuk mempersatukan Jawa, mungkin terkandung maksud. Bahwa kekuatan besar hanya dapat dilawan dengan kekuatan besar. Apakah artinya Demak sendirian? Yang ketika Unus menyerang Malakapun sempat dikhianati Tuban.

INTI dari cerita di atas adalah perlunya seorang pemimpin mempunyai visi. Dan bagaimana dampak visi terdapat kehidupan di bawahnya. Yang meluas ketika kekuasaan sang pemimpin makin melebar. Visi sering merupakan impian. Tapi berbeda dengan impian, visi merupakan tekad. Pada mana segala tindakan dialirkan. Seperangkat institusi disiapkan. Segala sumberdaya dikerahkan. Visi adalah cita-cita. Bagi seorang pemimpin menetapkan visi tidaklah mudah. Banyak pihak akan terlibat dan terpengaruh. Maka seorang pemimpin dituntut kearifan. Bahwa visi haruslah mencerminkan cita-cita organisasi, bangsa atau negara. (Maret, 1996).


OUCHI

Amerika (Serikat) akhir-akhir ini bak koboi tua yang kelelahan. Yang tinggal hanyalah bayangan kebesaran. Dan mimpi. Ketika neraca pembayarannya njomplang, dan ekonomi domestiknya mulai goyang, ia pun main tubruk kebijakan. Terhadap Jepang, negeri bekas taklukannya itu, ia main ancam. “Impor! Impor! Katanya. Jepang pun seperti biasanya, terpaksa mengangguk-angguk sambil tersenyum. Juga dengan Jerman. Bahkan terhadap negara-negara berkembang. Di antaranya melalui “textile gate”. Yang bicara kemudian, adalah kekuatan. Dan Amerika memang sedang menguji-coba pamor sisa-sisa kekuatannya.

Kekuatan pasar bebas, memang mulai terasa pudar. Justru oleh Amerika. Padahal, dia sendirilah, yang selama ini gembar-gembor tentang keampuhan sistem ini. Lihatlah Reaganomics. Yang hakikatnya adalah kembali ke teori ekonomi klasik. Keputusan ekonomi, katanya, biarlah ditentukan oleh pelaku-pelakunya. Lewat tangan-tangan tak kentara (invisible hand) di pasar. Pemerintah jangan banyak ikut campur. Reaganomics, seperti halnya ekonomi klasik, berpusat pada masalah produksi. Supply creates its own demand adalah hukum yang dianutnya. Biarkan masyarakat berproduksi sebanyak-banyaknya. Jangan pikirkan ada tidaknya permintaan. Bukankah resep Keynes, yang mendewakan permintaan agregate itu, hanya bicara untuk jangka pendek saja. “In the long run, we are all dead”, katanya. Jadi yang penting sebetulnya adalah masalah jangka panjang. Dan itu, hanya dapat dipecahkan lewat produksi.

William G. Ouchi, tak begitu saja sepakat dengan teori ini. Pemerintah, kata orang Jepang kelahiran Hawaii itu, tak bisa berpangku tangan saja atas tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan masyarakat. Tapi, ia, kata warga negara AS itu, juga tak boleh bertindak semaunya sendiri. Demikian juga halnya dengan dunia usaha. Bertindak sendiri, tanpa mau tahu apa yang dituju pemerintah tak rancaklah jadinya. Kesimpulan Ouchi, perlu ada kerja sama yang erat antara pemerintah dengan dunia usaha. Juga antara dunia usaha dengan dunia usaha. Alasannya, kata Ouchi, masalah ekonomi belaka. Alokasi modal merupakan hal yang kompleks sehingga tidak mungkin diserahkan pada satu badan saja. Tetapi, juga tak bisa diserahkan kepada perorangan untuk bertindak semaunya. Uang yang mereka miliki terlalu kecil sehingga tidak menguntungkan bagi industri secara keseluruhan. Tentang kerja sama dunia usaha dengan dunia usaha, Ouchi berkata : “Walaupun kita ingin mematikan perusahaan saingan, namun kita juga harus mempunyai kemampuan, pada suatu saat tertentu, untuk bekerja sama. Atau kalau tidak, kita tidak akan mendapatkan apa-apa! Ouchi menjelaskan falsafah tadi dalam bukunya : The M Form Society : How American Business Can Recpture the Competitive Edge.

Aneh, memang, apa yang dikemukakan Ouchi itu. Bagaimana mungkin para pesaing harus bekerja dalam satu tim kerja? Bukankah pesaing itu musuh dalam selimut? Jadi, harus kita gorok selagi lena. Juga, bukankah edan namanya, kalau pemerintah harus bekerja sama dengan dunia usaha. Antara penjaja dan raja harus ada jurang pemisah, yang namanya segregation of duties. Tak boleh ada saling imbas antara kedua fungsi itu. Apalagi jabat rangkap. Apabila raja juga menjadi penjaja. Wah…!

Nasihat Ouchi seharusnya ditilik dari sisi lain. Kerja sama pemerintah dan dunia usaha, seperti dimaksudkan Ouchi, adalah kerja sama penyusunan strategi nasional. Masing-masing tetap tinggal dengan integritasnya yang tinggi. Masing-masing dilandasi oleh semangat bushido. Segalanya ditujukan bagi kepentingan nasional. Antara pemerintah dan dunia usaha harus ada kesamaan tujuan dan arah. Sebab, kalau tidak, jangan harap ada perubahan struktural. Padahal, yang satu ini, tampaknya tak hanya kebelet, tapi harus dibeletkan keluar. Agar ekonomi dapat tegar kembali.

Manjurkah resep Ouchi untuk segala macam penyakit ekonomi? Tak tahu, yang jelas sebuah perusahaan Amerika, konon, mengeluh. Setelah menerapkan The M Form Organization-nya, Ouchi, para manajernya kehilangan waktu beribu-ribu jam hanya untuk kongkow-kongkow agar diperoleh kata mufakat. Cocokkan falsafah Ouchi Untuk Indonesia? Wallahu’alam! Ouchi adalah konsultan. Tugasnya memberi nasehat. Dan meyakinkan. Sedang nasehat adalah nasehat. Tak ada unsur risiko di dalamnya. Bagaimanapun, arigato Ouchi-san! (Akuntansi No. 10 – Oktober 1987)


MORITA

SIAPA menyangkal Akio Morita bukan pengusaha? Kalau ada, pastilah dia tak kenal dunia itu. Sebab, Morita adalah pendiri sekaligus presiden direktur Sony Corporation. Perusahaan elektronik terbesar yang mampu memporakporandakan pasar Amerika. Dan, Morita bukan pengusaha karbitan. Ia bergerak dari puing-puing kehancuran. Akibat perang. Melata dari bawah. Mengumpulkan sen-yen demi sen-yen. Kalau ia jaya kini, itu adalah hasil ketekunan.

Dan Morita, di puncak kejayaannnya, sempat mengimbau 2.000 dealernya, dari seantero jagat, agar mereka ikut membantu usaha stabilitas nilai tukar valuta asing (valas) di pasar dunia (Tempo, 20 Juni 1987). Anehkah imbauan ini? Agak sumbang di kuping memang. Walau, imbauan itu tak lekang dari pamrih pribadi. Agar perusahaan lebih tenang melakukan perencanaan.

Ada semacam anggapan. Pengusaha adalah binatang ekonomi. Yang menghamba tuan bernama laba maksimal. Yang sibuk mengisi kocek pribadi. Dengan pandangan dingin. Tak peduli pada sekitar. Konsep Pareto jadi junjungan. Kesempatan dalam kesempitan adalah ayat suci. Informasi pendobrak ketidakpastian adalah kunci. Maka perburuan pun tak dapat dielakkan. Lihatlah aksi borong valas, jika devalusai hampir terjadi. Bahkan pada tahap isu pun, hal itu telah dilakukan.

LOYALITAS berbeda konsep dengan nasionalisme. Seorang nasionalis akan marah besar jika bangsanya direndahkan. Diangggap tak produktif misalnya. Tapi loyalitas adalah lebih dari sekadar unjuk rasa kebersatuan (apalagi jika disertai wajah beringas ). Loyalitas mengacu pada kesetiaan dan pengabdian. Di dalamnya terkandung unsur pengorbanan. Alangkah indahnya mendengar berita. Penduduk Muangthai tak tergoyahkan untuk memburu dolar, walau informasi sudah pasti, beberapa hari lagi akan ada devaluasi. Bodohkah orang Thai? Alasan mereka, walau tidak pernah ditatar P4, persis mendekati apa yang selalu kita ucapkan, 3 S ( serasi, selaras, seimbang ). Buat apa memborong dolar, toh yang rugi kita juga akhirnya. Kalau negara terkuras koceknya dan perekonomian jadi terseok-seok, siapa akhirnya yang menderita? Kita juga! Tak ada “aku“ dan “mereka“ bagi orang di negara gajah putih itu. Yang ada adalah kita, negara, dan raja. Itulah yang namanya loyalitas.

MORITA, dengan semangat bushido, nampaknya sedang meluruskan pandangan. Kepada siapa loyalitas itu seharusnya ditekankan. Sebab, dengan kekuatan yang dimilikinya, kalau mau, Morita dapat berbicara banyak dalam mengguncang-guncang pasar moneter. Apalagi kalau diikuti konco-konco bisnisnya. Sebab, seperti kata John K. Galbraith, dalam the Affluent Society, organisasi-organisasi ekonomi di dunia ini cenderung menjadi konglomerat. Unit-unit usaha kecil, walau banyak jumlahnya, tak dapat bicara banyak dalam percaturan nasional atau mondial. Demand management tak lagi di tangan konsumen. Produsen dapat menjungkirbalikkan selera. Strategi yang diambil oleh para pengambil keputusan usaha, yang sekarang beralih pada manajer-manajer profesional bukan pemilik, adalah kolaborasi dengan pemerintah. Tentu untuk kepentingan mereka.

DAN kita pun bisa membayangkan. Mega trend kekuatan organisasi-organisasi ini dalam ikut mengkutak-katik variabel-variabel ekonomi. Perang kebijakan antara mereka dengan petinggi otorisasi terasa panjang dan melelahkan. Saling tarik urat dan ulur benang. Maka, tanpa didasari loyalitas, ekonomi (nasional) bisa jadi spekulasi. Dan kalau ini terjadi, ah, betapa mengerikan! (Akuntansi No. 8 – Agustus 1987)


SHAW

Lihatlah tukang becak. Aturan telah ditetapkan, rambu telah dipasang dan polisi pun setia lalu lalang. Toh mereka tetap saja kembali bergerombol. Di jalan yang ditabukan. Meskipun semenit barusan, mereka buyar lintang-pukang mendengar dengking peluit petugas tibum. Pelanggaran selalu saja terjadi. Petugas, yang menamakan dirinya pembina dan pengawas, pusing tujuh keliling dibuatnya.

Adakah tukang becak itu sengaja mengejek petugas? Barangkali, tidak. Tuntutan perut memang mengedankan, walau, pada akhirnya untuk dibuang kembali, lewat hajat. Bagi mereka, tertib peraturan, dan disiplin adalah sampar. Penegaknya adalah biang yang dihadapi dengan tunduk tapi beringas. Demikianlah, memang, potret serba kekurangan. Itulah sebabnya, George Bernard Shaw, pengarang beken itu, dalam salah satu lakonnya pernah mengatakan: Jika tak ada uang di sakumu, tak ada moral di sana. Dan Iwan Simatupang menuturkan keadaan itu dalam konteks peristiwa Indonesia. Lewat tokoh kita, Fifi dan Maria. Dalam bukunya: Merahnya Merah.

Dan itu pulalah sumber ketakakuran. Dengan tujuan pembinaan dan pengawasan. Sebab, di situ kesemrawutan adalah tabu. Segalanya harus terlihat apik. Dan gemerlap. Setidaknya untuk pandangan luar. Sebab, tak ada orang yang sudi mempertontonkan borok. Segala bentuk kedodoran harus disembunyikan. Bahkan, kadang, dengan dalih kemanusiaan. Maka, tak jarang arah tujuan jadi menyimpang dari hakiki. Orang cenderung mendewakan wadah dari pada isi. Titik berat lebih diletakkan pada gebyar luar. Bukannya bernas di dalam. Salahkah mereka? Tidak. Sebab, segalanya tergantung pada ukuran yang normal dipakai. Jika sukses adalah mereka yang berdasi dan duduk di kantor, jangan harap banyak anak muda yang mau terjun jadi petani. Siapa mau dianggap tak sukses? Manusia, secara kodrati, adalah tumpukan ego. Mereka, seperti kata Douglas McGregor, dalam The Human Side of Enterprise, adalah makhluk yang bertanggung jawab. Juga kreatif. Makanya, bila tujuan kelompok klop dengan tujuan pribadinya, ia akan mati-matian mengudaknya. Ada simbiose antara keduanya. Bahkan, harus ada.

Masalahnya adalah soal ukuran. Untuk menilai prestasi. Banyak orang yang cenderung menengok ke Barat. Buat panutan sistem dan nilai. Sementara itu, Barat pun tak selamanya menghasilkan bibit unggul. Sebab, ternyata, yang namanya Amerika bisa megap-megap menghadapi orang kate dari Timur itu. Sehingga William G. Ouchi, lewat Theory Z: How American Management Can Meet The Japanese Challenge, menganjurkan agar Amerika mencontoh Jepang dalam berdagang. Terlihat bahwa Barat tak selamanya layak jadi panutan. Ukuran dan nilai, sebetulnya, kita jualah yang menentukan. Lewat rekayasa sosial. Dalam perencanaan yang matang.

Fungsi pembinaan adalah kata-kata dewa, yang biasa meluncur dari sebuah birokrasi. Jika pembinaan diartikan dengan tambahnya peraturan, maka yang terjadi sebenarnya adalah kekeliruan pandangan. Sebab peraturan, pada dasarnya akan merupakan kendala. Hakikatnya, fungsi pembinaan adalah mengusahakan agar yang dibina dapat tumbuh, berkembang dan maju. Bebas dari rasa iri dan pemerataan pendapatan. Peraturan dikeluarkan jika kepentingan nasional dan masyarakat menjadi pecundang.

Pembinaan yang tepat adalah memberikan ladang. Bila tak mungkin, cukup menciptakan iklim yang menyenangkan. Atau kondisi yang memungkinkan terbentuknya tempat mengais. Jika sawah telah disediakan, tak ada lagi alasan untuk pelanggaran yang bermotifkan perut yang keruyukan. Pelanggaran, kalau toh masih ada pasti disebabkan oleh kekurangtahuan. Atau moral yang memang telah bejat. Kekurangtahuan dapat dibina melalui peningkatan kemampuan teknis dan pengetahuan. Sedang tunamoral, hukumanlah yang paling cocok baginya. Mulai saat ini. Pembinaan dan pengawasan dapat berbicara hitam atau putih. Tak lagi kelabu. Toh kail dan tambak telah disediakan. (Akutansi No. 9 – September 1987)

KARNO

OLIVER NORTH muncul sebagai pahlawan di TV Amerika. Lelaki pendek dengan potongan cross-cut itu, tampil memikat publik. Topik yang dikemukakan menyentuh perasaan ke-Amerika-an penduduk negeri Paman Sam itu. Dan, prosesi membangkitkan nasionalisme tadi, justru terjadi di ruang sidang Konggres. Di saat ia didengar pendapatnya tentang Iran Gate.

Penampilan North memang membuat para anggota Konggres tersipu-sipu. Mengapa, mereka yang katanya wakil rakyat itu, justru merobek kepentingan Amerika? Dengan dalih yang summir. Kebajikan. Orang pun lantas tergelitik untuk bertanya: “Siapa membajik siapa?” Dan, elite Konggres itu, barangkali, menjawab: “KAMI membajik DUNIA”. Dengan dada tengadah tentu. Dengan gaya model paroki. Orang Amerika mulai muak dengan hipokrisi ini. Humanisme yang didengungkan orang-orang Konggres itu, terbukti membuat orang Amerika lemah. Carter terjungkal dari kursi kepresidenannya, karena gaya manajemen “pendeta” yang ia terapkan pada organisasi politik pemerintah yang terkenal sombong itu. Kelemah-lembutan, bagi orang Amerika hanya, mendatangkan ejekan. Oleh Iran sekalipun.

Humanisme. Konsep kepentingan mondial ini memang nampak mulai kabur. Ia masih mengakar kuat hanya pada aspek kemanusiaan. Tapi politik? Dan ekonomi? Apalagi Hankam! Sudah lama, apa yang disebut kepentingan umum itu terkotak-kotak. Tergantung pada siapa yang disebut “umum”. Jika kepentingan umum itu mengacu pada tiadanya pamrih pribadi, maka konsep itu telah menjadi barang gombalan. Sebab, jika kata “pribadi” tadi diberi arti beberapa orang, kelompok, daerah dan nasional, menjadi sahihlah yang disebut pamrih tadi. Dan adakah orang tak berpamrih, walau tak langsung sekalipun?

Adalah Adipati Karno dan Kumbokarno yang dipetik Mangkunegoro IV sebagai suri-tauladan dalam hal nasionalisme. Dan loyalitas. Dalam serat Tripama. Dua Karno itu, akhirnya harus gugur. Demi negara. Diiringi ratapan dewa matahari (surem-surem dewangkoro kingkin; lir manguswo kang layon …). Merekalah pahlawan bangsa. Padahal, kepada negara dan bangsa yang bagaimana, kedua Karno tadi berkorban? Mahabarata dan Ramayana menceritakan tentang kebathilan Astino dan Alengko. Dua negara yang dibela oleh Adipati Karno dan Kumbokarno. Bagi kedua Karno tadi, nasionalisme dan loyalitas mengalahkan segalanya. Bagi mereka, kebajikan tak lagi penting. Juga kepastian tentang kematian. Siapa dapat menggoyang takdir?

Nasionalisme dan loyalitas mengacu pada sikap dan peri laku. Akhirnya dijabarkan dalam tindakan. Untuk segala aspek. Ekonomi, sosial, atau budaya. Dan di kita, santer terdengar selentingan. Adanya erosi etika bisnis, profesi, dan disiplin nasional. Kepada siapa nasionalisme dan loyalitas selayaknya ditujukan? Berbagai erosi itu menunjukkan menonjolnya kepentingan pribadi atau kelompok yang sangat kecil. Padahal, teladan yang diberikan kedua Karno tadi menyebutkan negara dan rajalah, selayaknya, yang jadi tumpuan nasionalisme dan loyalitas. Kepada dua institusi inilah kepentingan umum seharusnya dikotakkan. (Akutansi No. 12 – Desember 1987)



GOED KOOPMANS GEBRUIK

BARANG siapa ingin mengetahui adat seorang pedagang yang baik, bacalah Roman Multatuli: Max Havelaar. Tokoh Betavus Droogstoppel, mengungkapkannya Demikian :

Jika saya dalam vak saya – saya adalah makelar kopi dan tinggal di Lauriergracht No. 37 – memberikan keterangan kepada seorang prinsipal – seorang prinsipal ialah orang yang menjual kopi – dalam keterangan mana kedapatan sebagian kecil saja dari kebohongan- kebohongan yang anda temukan dalam sajak-sajak dan roman-roman, sudah pasti ia segera pindah kepada Busselinck & Waterman. Yang tersebut kemudian ini pun adalah makelar kopi, tapi alamatnya tak usah anda tahu. Karena itu saya tidak akan menulis roman atau memberikan keterangan palsu lainnya.”

Kebenaran dan pikiran sehat, demikian pegangan hidup seorang pedagang. Di dalamnya terkandung sikap kejujuran. Itulah adat pedagang yang baik. Tapi ini adalah adat pedagang abad 19. Pedagang sekarang bersikap mumpungisme. Lihatlah toko-toko di Glodok. Dahulu, harga yang ditawarkan adalah harga mati. Tapi kualitas terjamin pada harga itu. Sekarang, datanglah ke sana. Tanyakan harga. Jawaban pertama kali dua tiga kali lipat harga sebenarnya. Pelaksanaan transaksi harus disertai kelihaian tawar-menawar. Dan pengetahuan tentang harga. Bagi yang tidak tahu pasar, berbelanja di tempat itu berkemungkinan besar terperosok. Membayar lebih tinggi dari seharusnya.

Barangkali terlalu naif kalau hanya membicarakan kejelekan sendiri. Nyatanya, pada permulaan abad 20, New York Stock Exchange (NYSE) telah sering menemukan bagaimana seorang pedagang mengibuli masyarakat yang membeli saham perusahaannya. Melalui ketidakbenaran yang ia nyatakan dalam laporan keuangan. Sehingga, laporan, pada akhirnya, hanyalah pernyataan kegombalan.

Citra pedagang, apa boleh buat, sering kurang semerbak. Padahal, orang tahu, merekalah tulang punggung perekonomian. Golongan ini sering dibenci tapi sekligus dirindu. Penemuan-penemuan besar seperti listrik, radio, mesin uap dan lain-lain itu, niscaya tak akan berarti banyak bagi umat kalau tidak ada orang memperdagangkannya.

Goed koopmans gebruik adalah konsepsi normatif semacam kode etik. Dasarnya kepercayaan masyarakat. Tak ada aturan tertulis, namun orang mematuhinya. Tapi apabila kepercayaan itu luntur, peranannya akan digantikan dengan standar. Adanya standar tak berarti terjadi pergeseran ide. Sebab, standar, pada hakekatnya hanyalah jabaran ide, yang abstrak, menjadi rentetan tulisan. Agar jelas dan tegas. Agar orang tak meraba, dalam gelap, mana boleh mana tidak. Sebab, baik-buruk, nisbi sifatnya. Tapi, yang tak begitu disadari, standar sebetulnya merupakan cerminan ketidak-percayaan.

Standar ibaratnya madu dan racun. Ia membuat segalanya jelas dan tegas. Tapi, ia membatasi cakrawala pemikiran. Cenderung menyederhanakan proses penalaran. Segalanya ditimbang dari sudut “ada-tak-ada”. Bukan “baik-buruk”. Dengan demikian, konsep kejujuran dapat dijungkir balikkan. Justifikasi mungkin diberikan pada praktek salah dengan alasan belum ada standarnya. Falsafah yang mendasari praktek itu diabaikan.

Tapi, dewasa ini, dunia sedang dilanda standar. Ia melilit kehidupan. Seperti pita wuhen kauco yang melesak dan menyebar di otak monyet sakti, Kau-se-tiyen dalam cerita Cina kuno : See yu tse (Sebuah Perjalanan). Standar bukan lagi untuk kehidupan. Tapi kehidupan untuk standar. Betapa menyedihkan. (Akuntansi No. 21 – April 1986)


PENGAWASAN

MENGAPA orang perlu diawasi? Karena manusia itu lemah. Baik mental, moral dan fisik. Karena manusia memiliki pamrih. Karena tujuan kelompok tidak selalu sinkron dengan tujuan pribadi. Agar tujuan kelompok dapat tercapai, diciptakan sistem. Dan orang-orang yang menjadi anggota kelompok saling mengawasi. Fungsi dipecah-pecah. Proses dipotong-potong. Masing-masing pecahan dan potongan diserahkan kepada orang yang berbeda. Dengan demikian tiap fungsi akan menjadi alat pengawas bagi fungsi-fungsi lainnya dalam alur proses tadi. Timbullah birokrasi. Tujuannya, seperti diyakini Weber, adalah efesiensi dan efektifitas kerja.

Inti utama dari sistem pengendalian intern adalah pemisahan fungsi tadi. Penguasaan fungsi dalam satu rangkuman proses ditabukan. Konsep independensi mewarnai pembentukan sistem. Otoritas mengalir dari pucuk. Katup-katup pemeriksaan ditempatkan pada berbagai simpangan. Setumpuk peraturan disebar dari atas. Orang-orang seperti bekerja dalam kamar yang penuh dengan kamera TV. Monitoring berjalan ketat. Setiap saat hasil dibandingkan dengan rencana. Untuk memastikan tujuan organisasi telah tercapai. Hadiah dibagi kepada mereka yang dapat memenuhi target. Sedangkan hukuman diberikan kepada mereka yang tidak dapat mengikuti arus sistem. Konsep birokrasi dan pengendalian intern menjadi dewa penyelamat organisasi.

Adakah ia efektif? Penelitian Lawler III dan Rodhe mengemukakan timbulnya beberapa ketidakberesan perilaku manusia sebagai akibat diterapkannya sistem pengendalian intern. Di antaranya adalah sikap sangat ingin mematuhi peraturan sehingga tujuan diabaikan. Rencana disusun berdasarkan apa yang kira-kira tidak menyulitkan dalam pelaksanaan. Bukan atas dasar pertimbangan optimalisasi. Laporan kadang hanya berisi hal-hal kurang penting, menyangkut masalah yang sudah ada dalam rencana. Dan, apa boleh buat, birokrasi kemudian hanya berisi kesan ketele-telean. Birokrasi menjadi pita merah yang melingkar seperti setan. Adakah, dengan demikian, birokrasi layak dibuang ke temoat sampah? Dan sekat-sekat fungsi dicopot? Kalau urusan berjalan seperti semut, mestikah birokrasi yang harus jadi kambing hitam? Kotak-kotak fungsi itukah yang salah?

Birokrasi adalah konsep pengendalian intern yang diternakkan di dunia barat. Ia besar dalam pelukan lingkungan sosialnya. Masyarakat Barat. Masyarakat di mana cowboisme adalah idola. Jenggo adalah pahlawan. Yang untuk memperebutkan sebutir emas pun tak enggan meletuskan pistol. Walaupun demikian mereka adalah orang-orang keras hati yang berani menantang kehidupan. Yang tak takut menembus daerah wild-west. Demi penghidupan yang lebih baik. Sendirian. Yang tak mau terikat pada kelompok. Yang dengan jumawa dapat mengatakan “tidak”. Tetapi yang tidak malu mengatakan “maaf”.

Namun demikian, birokrasi dengan sistem pengendalian internnya, adalah konsep yang universal. Arjuna dengan Jenggo memang berbeda, tapi mereka mempunyai prinsip yang sama. Berjuang demi kebaikan. Cowboisme dan priyayiisme juga tidak serupa. Tapi pandangan hidup mereka tentang baik dan buruk tidak akan jauh berbeda. Yang berbeda adalah tatanannya.

Efektifitas birokrasi, pada akhirnya, memang tergantung pada orang-orang yang melaksanakannya. Pemisahan fungsi porak poranda oleh kolusi. Batas “siapa mengawasi siapa” menjadi baur. Independensi melempem. Lantas bagaimana? Barangkali yang perlu dipikirkan adalah menciptakan sistem pengendalian intern yang paling cocok dengan sistem sosial masing-masing lingkungan. (Akuntansi No. 20 – Maret 1986)


FALSAFAH MAKAN

PERNAH dengar falsafah makan? Konon, kebutuhan makan orang itu bertingkat-tingkat. Semuanya dijabarkan dalam pertanyaan. Tahap pertama tercermin dalam pertanyaan : “Besok apa makan?”. Belum pasti, bisa makan bisa tidak. Tahap kedua, pertanyaan : “Besok makan apa?”. Ada kepastian tentang makan. Yang jadi masalah alternatif makanan yang dipilih. Tahap ketiga (ini yang seru) : “Besok makan siapa?”.

Tak aneh sebenarnya. Maslow, dengan teori Hierarchy of needs-nya juga berbicara tentang jenjang kebutuhan manusia, yang makin tinggi makin kompleks. Tidak sekedar kebutuhan faali saja. Tapi, berbeda dengan Maslow, falsafah makan di atas mengandung arti keserakahan. Ada bau Machiavelisme di situ. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Dan dalam dunia bisnis ada pepatah : survival of the fittest. Bukankah ini juga berhubungan dengan masalah makan-memakan? Di Hongkong, tahun 60-an, para tai-pan, (yang betul adalah loh-pan, sebab walaupun tai-pan berarti pemimpin besar, tapi itu untuk julukan germo dan penjaga WC umum) bertarung saling mematikan. Tai-pan Noble House, Ian Dunross, saling jegal dengan tai-pan Rothwell-Gornt, Qulan Gornt. Perusahaan Amerika, Par-Con, ikut dalam perkelahian itu dengan tujuannya sendiri. Melenyapkan keduanya. Unsur triad, KGB dan CIA ikut campur. Pertarungan dengan demikian menjadi cerita yang mengasyikkan. Semua itu dirangkai James Clavell dalam novelnya : Noble House.

Terjun dalam dunia bisnis bak minum candu. Makin asyik melihat roda usaha menggelinding makin cepat. Roda itu harus melebar jangkauannya. Seperti Octopussy. Senyum tipis menghias bibir setiap kali menyaksikan tangan guritanya merayap dan mencengkeram. Aduhai, kalau begitu, orang itu telah dihinggapi penyakit business maniac.

Mengapa demikian? Karena rasa takut. Bila sudah di atas, betapa sakitnya tergelincir. Tak terbayangkan lagi kalau harus tinggal di rumah petak, makan bubur sehari hanya sekali. Maka, agar tak sampai tergelincir, ia harus naik lebih ke atas lagi. Berlomba, terus berlomba. Kalau lawan dengan tangguh mengikutinya, sikutlah dia biar jatuh ke jurang. Agar jalan bertambah lempang. Inilah yang disebut dinamika inilah ambisi. Dan inilah yang disebut modern.

Ah, tapi apa enaknya hidup selalu diliputi rasa takut? Bukankah manusia tinggal di dunia itu hanya mampir ngombe? Singgah untuk minum. Ford dan Rockefeller adalah segelintir manusia yang mengerti betul makna filsafat Jawa di atas. Apapun motif pertama yang mereka pikirkan (mungkin untuk menghemat pajak), namun yayasan-yayasan yang mereka dirikan telah tepat menjangkau tujuan kehidupan. Bahwa hidup untuk kemanusiaan. Bukan kemanusiaan untuk hidup. (Akuntansi No. 24 – Juli 1986)


PROSES

Tjoa Ing Hwie, pendiri pabrik rokok Gudang Garam, memulai usahanya dengan 50 buruh. Sekarang, pabrik rokok terbesar di Indonesia itu mempekerjakan sekitar 40.000 karyawan. Kisah sukses raja rokok yang memproduksi sekitar 24 milyar batang setiap tahun itu bukan hasil dari impian semalam. Diperlukan waktu sekitar 30 tahunan untuk mencapai prestasi yang layak menerbitkan air liur orang itu. Tetapi Ing Hwie tidak sendirian. Banyak pengusaha sukses dimulai dengan nol. Tanyakan pada Sudarpo Hasyim Ning, Sukamdani, Probosutedjo, atau Liem Soei Liong. Jawabnya akan sama.

Kisah sukses pada umumnya memang suatu perjalanan panjang. Sering penuh dengan duka nestapa. Tapi ketika sampai di puncak, dan menengok ke belakang, ah, betapa indahnya yang disebut nostalgia. Nongkrong di warung tegal pun terasa di surga. Ketika steak sudah terasa hambar. Nostalgia membuat teh pahit terasa champagne. Siapa yang tidak dapat bernostalgia? Yalah orang yang tidak mengalami perjalanan seperti itu. Yang tak terlibat dalam proses.

Suatu perjalanan memang menjemukan. Proses tak disukai orang, tapi out-put yang gemerlapan banyak diirikan. Sayang banyak orang hanya mau melihat pada out-put yang gemerlapan itu. Tanpa mau menengok prosesnya. Tanpa mau melihat bahwa yang gemerlapan harus dikorbani dengan cucuran ketekunan dan kesabaran, dalam jangka waktu yang tak pendek. Sukses ingin dicapainya dalam satu dua kali rengkuh.

Keirian terhadap yang gemerlapan membuat orang berlomba meraihnya. Keengganan terlibat dalam proses mendorong orang bersikap pragmatis. Prinsip disingkirkan. Kemudahan diagungkan. Salahkah mereka? Tidak. Dunia memang sedang gencar-gencarnya menyediakan kemudahan. Konsumerisme dijajakan di kaki lima. Dan orang tua siapakah yang tega anaknya menderita. Kalau dapat menyediakan pisang goreng di meja, mengapa harus menyuruh menguliti, mencampuri dengan tepung, menyalakan api, menuang minyak dan mengudak penggorengan untuk akhirnya dapat menikmati santapan pisang goreng.

Proses memang tak menyenangkan. Itulah sebabnya ia selalu ingin diperpendek. Melalui tombol dan panel. Tehnologi yang semakin canggih diupayakan agar dapat mendepaknya. Tapi kedewasaan dan kemandirian? Dapatkah tehnologi memperpendek proses menemukan jati diri seorang anak manusia?

Jati diri seorang manusia sangat berbeda dengan jati diri sebuah out-put. Jati diri sebuah out-put adalah kesempurnaan untuk pemuas kebutuhan. Dan tehnologi dapat membantunya. Jati diri manusia adalah kekosongan, begitu Miyamoto Musashi menyebutkan. Pendekar pedang dari Mimasaka ini mengakhiri bukunya yang berjudul Lima Cincin, dengan bab yang diberi nama “Khu” (Kosong). Buku ini terdiri dari lima bab yang diberi judul: Bumi, Air, Api, Angin, dan kekosongan. Ia bercerita tentang siasat mencapai keberhasilan dengan ajaran Zen, semangat Bushido dan jalan Heiho. Inti dari ajarannya adalah kerendahan hati dan kerja keras. (Akuntansi No. 19 – Februari 1986)


ILLICH

MENGAPA anak-anak harus sekolah? Karena masa depan tak kan cerah bila prosesi ini tidak diikuti. Sebab, sekolah, adalah jenjang menuju sistem birokrasi. Di sini, yang namanya otak, digojlok dengan tuas, yang disebut logika. Dan anak-anakpun harus tunduk ketika dijejali komoditi, yang konon, namanya “ilmu”. Sampai muntah. Dan mencret! Sekolah kini, tak sekedar belajar melek huruf. Setumpuk pengetahuan musti ditelan. Semester demi semester. Tak boleh bosan. Toh sekolah masih berkelit ketika kepadanya diajukan petisi. Lulusan sekolah-sekolah, isi petisi itu, tak siap-pakai. Kita, jawab sekolah, memang hanya bermaksud mencetak orang-orang siap kerja. Itu pun kalau lapangan tersedia.

SEKOLAH, akhirnya menjadi dinding-dinding tersistem. Dengan urutan in-put, proses, out-put. Dengan hardware dan software. Semuanya tertata baku. Sekolah merasa tugasnya selesai begitu out-put telah dihasilkan. Dan out-put itu, seperti lainnya hasil proses produksi, adalah barang kemasan. Sementara, sekolah itu sendiri, menjadi komoditi di pasaran. Keberadaannya ditentukan oleh supply dan demand.

ADALAH Ivan Illich yang menghojat lembaga ini. Lewat Descholling Society. Ia mempertanyakan keampuhan sekolah dalam mengantarkan siswanya ke jenjang kesuksesan. Belajar dan mereguk ilmu, kata Illich tak harus melalui sekolah. Sukses apalagi. Tapi, suara Illich, bak teriakan di gurun pasir. Dunia sudah terbiasa dengan indikator. Juga untuk “bisa-tak bisa”, “mampu-tak mampu”, dan “pintar-tak pintar”. Sekolah adalah lembaga yang sahih untuk menempelkan indikator-indikator tadi.

DAN jika sekolah dijadikan jembatan untuk masuk dalam jaringan birokrasi, jangan pula terlalu dirisaukan. Sistem kerja, di manapun, menuju ke sistem formal. Tak ada sistem gilda. Yang cuma mengandalkan pengalaman. Juga sistem padepokan. Di mana unsur kesetiaan pada guru menjadi dominan. Dalam sistem kemasan, yang ada ialah jual-beli. Ilmu dan harapan. (Akuntansi No. 1 – Januari 1988)



BAGIAN KEDUA

EKONOMI


PARETO

MENGAPA di dunia ini selalu timbul masalah kemiskinan? Firman Allah SWT mengatakan : Demikian memang diciptakan untuk dunia. Selalu berpasangan. Ada laki-laki, ada wanita. Ada yang malas ada yang rajin. Juga ada kaya, ada miskin. Orang pun menyadari bahwa rezeki, mati, dan jodoh ada di tangan-Nya. Merupakan bagian dari takdir. Ada semacam pembenaran untuk ketimpangan.

TAPI, ketika bayi-bayi terpuruk dalam kelaparan di Ethiopia, datang Bob Geldof. Membawa bantuan dari dunia glamor. Ada semacam getaran sesama anak manusia. Yang tak membedakan warna kulit. Atau kasta. Ternyata, penderitaan adalah universal. Melihat bocah-bocah yang terpaku lesu, dalam kerumunan lalat dan borok-borok. Orang akan tergerak melempar tanya. Andai kata aku di sana, bagaimana rupanya? Inilah kekerabatan. Inilah kesetiakawanan. Ketimpangan, tak disukai memang. Tapi apa boleh buat, itulah kenyataan.

KETIMPANGAN, apalagi dalam pembagian rezeki, adalah sosok menakutkan. Ia membelah dunia tanpa ampun. Ketika antrian massa yang beringas melolong sepanjang lorong, menanti sesuap nasi. Ketika itu pula, di sampingnya, getaran lampu ceria dengan masyarakat yang tumpah dengan warna-warni asesori. Maka, adalah mengherankan bila ada warga dunia yang membuang persediaan berasnya ke laut, sementara di belahan lain, saudara- saudaranya menjerit kelaparan. Hanya sekedar mempertahankan pasar. Ya, hanya agar harga tak keburu anjlok. Dan, dinamika ekonomi pun mulai berjalan. Survival for the fittest. Hukum pasar melandanya dengan kejam. Seolah, esok tak ada lagi waktu buat berburu. Lihatlah, betapa dunia ini serasa dapat dikangkangi oleh hanya tujuh penguasa dunia. Mereka, dengan jumawa, merasa sahih berbincang tentang pembagian nasib umat di bumi. Yang berhak memberi hukuman atawa ganjaran zonder permisi.

ADALAH Vilfredo Pareto (1848-1923) yang membahas tingkat efisiensi optimal pada suatu perekonomian. Katanya, tingkat efisiensi optimal dicapai bila tambahan keuntungan yang diperoleh seseorang tidak dimungkinkan tanpa timbulnya kerugian orang lain. Jika keuntungan seseorang masih dapat dinaikkan tanpa merugikan orang lain, atau jika penurunan kerugian dapat dilakukan tanpa mengurangi keuntungan orang lain, alokasi produksi dan distribusi belum optimal. Jadi, usaha untuk mengubahnya dapat diteruskan. Karena akan menambah kesejahteraan masyarakat.

AH, tapi kau lupa satu hal, kawanku Pareto.Tingkat efisiensi optimal tak berarti kesejahteraan optimal. Anak-anak kesrakat itu, barangkali, tingkat kepuasannya, hanya sepanjang perut. Mereka takkan peduli apa pun ulah orang lain, asal dapat makan tiap hari. Tak merasa dirugikan walau orang lain memperoleh keuntungan, melalui ketamakan, tuna-etika, dan main keroyokan. Orang pun banyak yang menganggap hal biasa. Itulah harga dari efesiensi, produktivitas, dan inovasi. Masalahnya saudaraku Pareto, tak semua orang tahu informasi. Bahkan sering tak ingin dibuka. Melalui aturan, prinsip, negosiasi, dagang sapi atau apa pun. Pengungkapan secukupnya saja, tak perlu telanjang bulat. Dan, si buta informasi ini, adalah makanan empuk bagi belantara usaha. Informasi itu mahal Pareto. Dan harus mahal. Agar orang melarat tak kuat mendapat. Dan status-quo pun terjamin. Pasar tetap retak. Persaingan tak pernah sempurna.

PARETO optimum tak lekang dari manipulasi. Bantuan dan pinjaman yang mengalir adalah iming-iming. Agar orang merasa tak dirugikan, walau direguk madunya. Apalagi kalau demi efesiensi, falsafah Pareto tak diikuti. Ketika mbok bakul mulai pasrah untuk mati. Tersungkur dalam gengsi dan efesiensi di bangunan pasar swalayan. Kesejahteraan telah diartikan dengan apa dan bukan siapa. Bukan ! Bukan itu maksud analisaku, kata Pareto lirih, nun diseberang sana. (Akuntasi No.7 – Juli 1987)


MYRDAL

Seorang pendekar kemiskinan telah tiada. Gunnar Myrdal, ahli ekonomi terkemuka, pemenang Hadiah Nobel 1974, meninggal dengan tenang di Stockholm, Mei lalu. Myrdal, seperti halnya Drucker, adalah orang-orang yang ikut resah melihat perkembangan dunia, yang terasa makin timpang saja.

BERANGKAT dari pengalamannya berkelana di daerah-daerah kumuh di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Indonesia, 1953, Myrdal mulai tertarik mendalami kehidupan orang-orang papa di negara-negara itu. Dari pengembaraan ini, ditulisnya buku tebal, yang mempertanyakan nasib rudin kaum paria : Asian Drama-An Inquiry into the Proverty of Nations (1968).

NASIB baik, apa boleh buat, tampaknya belum juga menyapa negara-negara papan bawah itu, walaupun mereka telah menggebu untuk lepas dari belenggu. Lewat pembangunan yang direncanakan matang. Dengan bantuan ahli, teori dan uang negara maju. Jurus big push dan trickel-down effect berkali-kali digelarkan. Namun, hasilnya tetap saja sama. Terkapar dalam kejembelan. Terjungkal dalam persaingan. Dengan negara-negara yang berada di paruh utara belahan dunia. Sebab, ketika negara-negara berkembang itu sedang begelut mengisi perut. Negara maju, telah bermain api dengan teknologi. Dan, betapa jahatnya yang bernama teknologi. Dan, betapa serakahnya negara-negara maju. Mereka merayah jatah si miskin.

GUNNAR MYRDAL, tak seperti halnya Boeke, ikut gelisah melihat perkembangan itu. Boeke, dengan sikap pongah seorang yang merasa dalam kasta putih yang lebih tinggi, menyatakan bahwa orang-orang di negara ketiga harus nerimo untuk tetap menjadi kere. Sebab, mereka memang tak mungkin dapat maju. Myrdal, justru menghojat jurus- jurus yang dicekokkan oleh negara barat itu, sebagai sebab malapetaka pembangunan. Yang membuat negara-negara berkembang tetap terhumbalang dalam kegombalan.

Ketika negara-negara maju berteriak, karena bantuan yang mereka berikan ternyata tak mempan memerangi keterbelakangan, orang mulai sibuk mencari jawab. Ternyata, pranata-pranata yang mereka paksakan, ketika memberikan bantuan, banyak tak jalan. Resep-resep yang disodorkan tak manjur mengusir angin jahat kepapaan.

Masalahnya, kata Myrdal, banyak teori, asumsi, dan premis ilmiah yang terbukti sahih untuk ukuran Barat, ternyata menjadi melempem jika diterapkan di negara-negara berkembang. Faktor-faktor nonekonomis, seperti sosial, budaya, politik, dan institusional yang berbeda mengakibatkan peluru-peluru ilmiah itu mejen ketika ditembakkan di masyarakat kolektivis yang kadang irasional. Jika pranata-pranata Barat itu toh diterapkan,hasilnya hanyalah perangkat-perangkat kosong tanpa makna. Mereka hanya membangun wadah, bukan isi.

Petuah Myrdal kepada para ahli ekonomi muda dari negara berkembang cukup galant. Yaitu, jangan asal comot sesuatu yang kelihatan apik berjalan di barat. Lebih baik memilih yang praktis-praktis saja dan kemudian membuat konstruksi teoritis sendiri sesuai dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi oleh negara-negara tersebut.

AH, tapi Gunnar Myrdal lupa. Persahabatannya dengan orang-orang kesrakat membuat ia agak mengabaikan tradisi nenek moyangnya. Konsep formal dagang dan keangkuhan. Dan whiteman burden. Bantuan tak selamanya menghendaki ikatan politik atau ekonomi. Tapi dapat juga cara berpikir, berinstitusi, bahkan gaya hidup. Sekedar menunjukkan derajat. Dan selama bantuan itu masih diperlukan, bahkan dicari, dapatkah pranata-pranata Barat itu diabaikan?

TELAH pergi seorang yang mengerti liku-liku negeri yang masyarakatnya masih saja terbungkuk menanggung beban kehidupan. Selamat jalan Gun! (Akuntansi No. 6 – Juni 1987)

ROBINHOOD

SALAMUN A.T. pernah mengumpamakan dirinya sebagai Robinhood. Petualang berbudi yang mengambil harta si kaya untuk dibagikan kepada si miskin. Peran Robinhood itu dikemukakan sewaktu beliau masih menjabat Direktur Jenderal Pajak. Karena sosok Salamun (pada waktu itu) identik dengan pajak, maka, secara tak langsung, perumpamaan ini, juga menjelaskan tentang peran pajak.

Dan pajak memang punya fungsi distribusi. Artinya, mengaduk pendapatan dalam masyarakat, agar lebih merata. Mereka yang berpenghasilan tinggi, disedot sebagian untuk disemprotkan pada yang berpenghasilan rendah atawa tidak berpenghasilan sama sekali. Fungsi itu sah adanya. Sebab, begitulah tatakrama hidup. Yang kuat selalu dituntut membantu yang lemah. Jepang misalnya. Negara kaya itu sekarang lebih sering dituntut untuk ikut memperhatikan penderitaan negara-negara miskin. Tuntutan yang layak saja. Sebab, kekayaan Jepang, sebagian berasal dari negara-negara miskin tersebut. Itulah konsep Pareto. Dan bantuan Jepang akhirnya menguntungkan Jepang juga. Pasar yang melebar karena timbulnya effective demand, sebagian diraupnya.

Dan kemiskinan, tidak saja tak dikehendaki. Bukan pula akibat nasib semata. Kemiskinan, tidak jarang akibat tak adanya peluang. Ibarat lomba lari, mereka yang titik starnya jauh dibelakang, sulit akan menang.

Fungsi pemerataan pajak akan semakin terasa maknanya dalam alam deregulasi yang dewasa ini sedang digalakkan. Deregulasi, akan membuat mekanisme pasar dapat lebih berfungsi. Kesempatan menciptakan dan mencaplok peluang jadi santapan harian. Kompetisi akan semakin tajam. Lewat kompetisi ini seleksi alamiah mulai berjalan. Survival for the fittest. Mereka yang tak produktif akan terhumbalang.

Tapi, orang dapat saja tersingkir dari kompetisi. Bukan karena inefisiensi. Tidak sebab kurang jeli menemukan lubang. Mereka terjelepak hanya karena status. Nasib. Tak dikaruniai kedudukan pemegang rente ekonomi. Lihatlah dampak kebijakan export led industry. Hampir 34% ekspor non migas dewasa ini dilakukan oleh Jawa. Jakarta sendiri menyumbang sekitar 25% dari seluruh ekspor. Mengapa demikian. Karena daerah-daerah itu memiliki kedudukan rente ekonomi. Pelabuhan yang baik, prasarana jalan yang mulus dan lain-lain.

Maka, adalah wajar jika pajak jadi perjuangan habis-habisan. Dialah peredam lompatan yang tak seragam. (Akuntansi No. 4 – April 1989)


BALADA TOFFLER dan DRUCKER

DUNIA tersentak. Alvin Toffler menemukan jenis penyakit baru : Future Shock. Begitu cepatnya perubahan di dunia ini, kata Toffler, membuat orang gamang menghadapinya. Betapa lelahnya menghadapi perubahan-perubahan itu yang, apa boleh buat, harus diikuti. Sebab, kalau tidak, akan tertinggal dalam percaturan. Dan bagi manusia masa kini, kalah dalam persaingan, adalah noda tak berampun. Maka, berduyun-duyunlah orang-orang yang berpenyakitan itu, ke Timur …. Mencari ketenangan! Di India, mereka masuk di bawah duli seorang Maharadja. Di Cina berwaitankung dan taichi. Bila ke Indonesia, masuk ke perguruan Subud atau Bangau Putih.

Dunia, memang terbalik-balik. Di negara-negara industri, orang mulai jenuh dengan hiruk pikuknya suara mesin. Mereka ingin kembali ke alam. Kepada ketenangan. Di dunia ke tiga, orang berpacu menjadikan dirinya negara industri. Lewat pembangunan. Melaluai model-model perencanaan karya Barat. Yang dicemooh Gunar Myrdal, dalam Asian Drama-nya. Sebab, penggunaan model-model itu, bak memakai kondom Amerika untuk program KB Asia.

DAN DRUCKER, memandang sayu pacuan itu. Sungguh mengenaskan! Petani dunia ke tiga, dengan peluh di tubuh, berdiri termangu, melihat hasil kerjanya serasa tak berharga, Bahan baku yang dihasilkan, kini barang loakan bagi negara-negara maju. Sebab, teknologi canggih yang mereka ciptakan mampu menggantikannya. Peter Drucker, lewat The Changed World Economy-nya, seolah menghojat iktikad baik negara maju, membantu masyarakat kesrakat di belahan bumi melarat.

SELAYAKNYA kita bertanya : “Relakah mereka, sebenarnya, melihat petani-petani itu mengubah diri menjadi buruh-buruh industri?” Kalau, untuk tekstilpun, mereka menutup diri dengan proteksi? Sementara dalam teknologi canggih mereka membebaninya dengan harga transfer, yang entah berapa kali di atas normal? Jika mereka bebas memberikan subsidi bagi petani. Subsidi kita buat industri, terhumbalang oleh counter veiling duty. Dunia kadang memang menampakkan ketidakadilan. Yang tetap berjalan karena kekuatan. Apa boleh buat! Sedang negara seperti Chili-pun, dapat dibuat mainan oleh hanya sebuah perusahaan.

TOFFLER dan Drucker menggambarkan tragedi dalam sebuah drama masyarakat. Sosok yang ditampilkan berbeda memang. Namun hakekatnya sama. Masyarakat yang perlu belas kasihan. Toffler dengan keparlentean masyarakat Barat yang linglung. Sementara Drucker, berbicara lewat kekumuhan petani penghasil bahan baku yang tetap terbongkok tanpa mengetahui hari esok.

TAPI roda ekonomi nyatanya berbicara lain. Ia menggilasnya, sambil melemparkan senyum mengejek. Keluarlah dari sistem, hai orang-orang yang kalah perang! Dan duniapun ternyata diam. (Akuntansi No. 2 – Pebruari 1987)



MONOPOLI

AH, betapa jahatnya si monopoli! Laba yang diperoleh sang penentu harga ini termasuk sewa ekonomi (economic rent). Yaitu, harga yang harus dibayar pembeli untuk hak monopoli tadi. Ini adalah harga dari sebuah privilese. Dan, sebetulnya, merupakan redistribusi pendapatan dari konsumen kepada si monopolist. Sebab, dalam pasar monopoli, produksi akan diatur pada titik di bawah keseimbangan pasar, yang akan menghasilkan keuntungan maksimal bagi mereka. Akibatnya, harga akan lebih tinggi dari apa yang seharusnya terjadi dalam keseimbangan. Inilah keadaan yang oleh Adam Smith disebut: “musuh bebuyutan bagi manajemen yang baik”. Monopoli sudah dikenal sejak jaman merkantilisme. VOC adalah salah satu contoh perusahaan yang diberi hak monopoli berdagang di Indonesia oleh ratu Belanda. Dan, monopoli, apa boleh buat, selalu dikonotasikan adanya “permainan” antara penguasa dan pengusaha. Sebab pemegang hak adalah penguasa, sedang penikmat dan pelaksananya adalah pengusaha. Jadi monopoli dikaitkan dengan pemilikan.

Monopoli, sebetulnya, tak harus akibat permainan penguasa dan pengusaha. Ada bidang-bidang usaha, yang secara teknis memang lebih efisien kalau dijalankan secara monopolistik. Alfred Marshal, dalam 1890, mengidentifikasikan adanya monopoli natural pada industri-industri yang diwarnai oleh indivisibilitas. Pada akhirnya, arti monopoli, juga berkembang untuk barang-barang yang dipatenkan. Harold Demsetz adalah salah satu yang tidak menyetujui adanya regulasi demikian. Suatu hal yang kemudian ditentang oleh Golerg. Juga, tak selamanya, monopoli timbul akibat permainan penguasa dan pengusaha. Perusahaan-perusahaan yang berkembang pesat akan cenderung memperkuat posisinya dalam pasar. Standard Oil Company, misalnya nyaris menjadi monopolist dalam bidangnya, kalau tak keburu dibabat oleh Anti Trust Law.

Di Indonesia, monopoli bukan merupakan momok. Undang-undang Dasar memberikan kemungkinan untuk timbulnya monopoli. Yaitu, yang berhubungan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pihak yang diberi hak monopoli sudah jelas, yaitu Negara. Dan tujuan pemberian hak juga tak meragukan: kemakmuran rakyat. Bidang-bidang yang diberi hak monopoli kemudian diperluas, mencakupi hal-hal strategis secara nasional lainnya. Monopoli, pada akhirnya, memang membuat tidak sempurnanya pasar. Unsur kompetisi, kemudian menjadi kurang dominan. Percikan masalahnya akan menonjok pada hal hakiki: keadilan. Dan pengusaha, melalui lobi politik maupun koalisi, memang akan selalu berusaha untuk memperoleh posisi itu.

Masalah monopoli yang sebenarnya, barangkali, bukan bentuk pasarnya, tapi pemilikannya. (Akuntansi No. 28 – Nopember 1986.)


LAISSEZ FAIRE

Seandainya Adam Smith bisa bangkit dari kubur. Ia akan keplok buat deregulasi yang kini telah dan sedang dilakukan di Indonesia. Orang Skotlandia itulah yang pertama kali mengajarkan arti pentingya ekonomi pasar. Serta adanya tangan-tangan tak kentara (invisible hands) dalam sistem ekonomi ini. Dosen teologi di Universitas Glasgow itu percaya benar akan kekuatan besar yang tersembunyi dalam pasar untuk mengatur perekonomian. Monopoli dikecamnya habis-habisan. Baginya, monopoli adalah musuh besar bagi manajemen yang baik. Smith melalui Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations adalah orang yang paling tidak senang dengan campur tangan pemerintah. Baginya, tugas pemerintah hanyalah mengadministrasikan keadilan, menjaga keamanan nasional dan menyediakan barang-barang publik (public goods).

TAPI, kebebasan natural (laissez faire) yang dikumandangkan Smith tak selamanya memperoleh dukungan. Bahkan dari kawan-kawan sealiran sekalipun. John Stuart Mill, dalam Principles of Political Economy menyatakan bahwa hal yang paling sulit dalam kebebasan adalah bahwa para individu tersebut semuanya harus mulai dengan posisi yang sama. Jika tidak, maka akan terjadi perbedaan peluang (opportunity) bagi individu tadi. Mill, pada hakekatnya, penganjur ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang mendukung campur tangan pemerintah yang dapat menciptakan keadilan dalam peluang.

KONSEP laissez faire, ekonomi pasar dan tangan-tangan tak kentara didasarkan atas pandangan bahwa semua orang mempunyai peluang yang sama di pasar. Jika keadaan ini tercapai, maka ekonomi pasar tidak akan menimbulkan chaos. Tapi, adakah keadaan itu pernah ada di dunia? Hampir tidak pernah. Perbedaan peluang selalu ada antar individu. Akumulasi kekayaan tidak sama antara individu satu dengan yang lain. Ini yang menyebabkan kondisi bahwa semua orang harus mulai pada posisi yang sama tidak tercapai. Perbedaan kesempatan memperoleh informasi juga dapat menimbulkan perbedaan peluang.

DEREGULASI memang mendobrak aturan ekonomi merkantilis yang bekerja atas dasar ekonomi rente. Tak ada satu orangpun dalam sistem perekonomian yang memperoleh privilese. Dalam sistem pasar, fungsi pemerintah sebagai administrator keadilan menjadi penting. Dialah polisi, agar semua pihak berjalan di atas aturan. Tak ada satu orang pun dapat menyalah gunakan melalui kekuatan yang dia miliki.

DEREGULASI memang mengarah pada berlakunya sistem pasar. Campur tangan pemerintah terhadap jalannya usaha swasta sangat dikurangi. Ada kebebasan bagi swasta memang. Tapi, jangan terkecoh, deregulasi dan berlakunya sistem pasar, bukan berarti swasta boleh berjalan tanpa aturan. Tak ada mekanisme kontrol sama sekali. Jika kontrol oleh Pemerintah dikurangi, perlu ada mekanisme kontrol lain oleh swasta sendiri. Melalui pers, yayasan lembaga konsumen atawa akuntan publik. Deregulasi kita, sudahkah masalah ini dipikirkan. (Akuntansi – Edisi Khusus – Januari 1989.)


TEORI GELOMBANG

Adalah Chenery yang berteori. Bahwa kemajuan identik dengan makin besarnya sektor industri. Maka tergodalah negara-negara berkembang di dunia. Industrialisasi jadi semacam resep buat pembangunan. Cerobong-cerobong pabrik menjadi obsesi bagi kebanyakan pimpinan di dunia ketiga. Tak salah memang. Sebab, mereka selalu dihadapkan pada kenyataan. Term of trade barang-barang pertanian yang mereka hasilkan terus meluncur ke bawah. Dibandingkan dengan hasil-hasil industri negara maju. Impotensi terhadap penguasaan teknologi, membuat negara-negara papan bawah itu serasa dipermainkan.

Tapi, anehnya, program industrialisasi tak banyak memunculkan negara-negara industri baru. Tercatat hanya Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura yang layak dijuluki New Industrial Countries (NIC). Lainnya? Berantakan! Tak satupun negara berkembang yang sukses dengan program industrialisasinya. Tak juga India. Yang memulai program industrialisasinya dari sektor industri berat. Pola lama pun kembali lagi. Negara-negara berkembang harus puas menjadi pengekspor barang-barang sektor primer. Bahkan dengan derita lebih berat lagi. Sebab, teknologi baru yang diketemukan negara-negara maju mampu menciptakan barang-barang pengganti. Drucker melukiskannya dengan baik dalam The Changed World Economy.

Ada semacam ketidakrelaan dari negara-negara maju, jika program industrialisasi berhasil di negara-negara berkembang. Pasalnya, kue manfaat dari nilai tambah industri yang selama ini mereka nikmati akan berkurang. Sebab, konsep Pareto akan berlaku saat redistribusi manfaat itu. Jika suatu negara memperoleh lebih, negara lain akan berkurang manfaatnya. Amerika Serikat mencak-mencak ketika neraca pembayarannya digerogoti oleh defisit dengan negara-negara NIC.

Tapi, adakah ini berarti kondisi Pareto sudah optimum? Sulit menjawabnya. Jenis barang dan cara produksi selalu meningkat sepanjang masa. Sementara itu, jumlah maupun mutu manusia di dunia juga selalu bertambah. Masalahnya, terjadi tumpang tindih pada barang-barang yang dihasilkan. Dan perkembangan jumlah serta mutu manusia tak sepesat perkembangan jenis dan cara produksi.

Vernon, sebetulnya, telah berteori. Lokasi industri akan mengikuti tingkat maturitas produk. Produk-produk high tech, misalnya, masih akan tetap setia bertengger di negara-negara maju, sementara, produk-produk standar akan mengalir ke negara-negara berkembang. Alasannya, comparative advantage. Tapi kenyataannya? Amerika Serikat masih ngotot mempertahankan industri tekstilnya. Bahkan Jepang, menciptakan robot untuk menggaet kembali industri-industri tekstil yang telah disebar ke negara-negara berkembang. Lalu apa yang bisa dibuat oleh negara-negara yang sedang membangun itu?

Adalah Toffler yang merinci perkembangan kombinasi penggunaan sumber daya. Pada saat permulaan, Kata Toffler dalam The Wave Theory-nya sumber daya yang digunakan adalah kombinasi antara alam dan otot (tenaga kerja). Ini adalah ciri sektor pertanian yang tradisional. Tahap selanjutnya kombinasi berkembang menjadi otot dan modal. Di sini industrialisasi mulai merasuk. Dan dunia saat ini, sibuk menghadapi kombinasi modal dan otak (skill). Itulah masanya tehnologi tinggi. Apa yang akan terjadi di masa depan. Ada yang memperkirakan, kombinasi penggunaan sumber daya akan bergulir pada otak dan alam. Saat itu akan terjadi revolusi genetika. Bio-technology akan merajai dunia.

Siapakah kita? (Akuntansi No. 4 – April 1988)


TINGGAL LANDAS

SYAHDAN, Indonesia tahun 2000. Andaikata Rostow kita sewa jadi konsultan, tugas utamanya adalah mendefinisikan apakah Indonesia telah mencapai tahap lepas landas. Sebagai bapak teori pembabakan pembangunan, dialah orangnya yang tepat. Tentu saja, kemudian, Rostow menyebutkan ciri-ciri utama negara yang telah mencapai tahap lepas landas. Lepas landas, katanya, ditandai dengan perkembangan yang pesat dalam penanaman modal, terutama di sektor industri. Pada masa itu, laju investasi neto meningkat dari 5% menjadi di atas 10% pendapatan nasional. Di samping itu, harus terdapat perkembangan yang tinggi, sebagai sektor yang memimpin. Yang tidak kalah penting, pada masa lepas landas harus sudah tercipta kerangka dasar politik, sosial dan institusional yang dapat mendorong ekspansi sektor modern, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat berjalan terus menerus. Secara otomatis.

Mendengar ocehan Rostow ini, Kuznets terpaksa terbang ke Jakarta dengan Tetuko 149. “Kamu jangan ngacau begitu dong Tow,” katanya ketika bertemu di Executive Club Hotel Hilton, sedang menyantap steak ayam kampung (menu baru hotel ini). Musik dangdut menggema di ruangan itu. Apa memangnya pembangunan bisa di pecah-pecah begitu gampang kayak memotong kue pengantin? Apakah ciri suatu tahap pembangunan dapat dengan begitu mudah dibedakan seperti membedakan tumpukan lapis legit? (yang baru saja dirasakan nikmatnya ketika sarapan pagi tadi, sebagai bagian dari program pemakaian produksi dalam negeri oleh hotel). Di samping itu, ciri-ciri proses pembangunan di tiap-tiap negara tidak dapat dipukul rata begitu saja. Jalannya tidak lurus seperti roda lori. Masyarakat yang “dikelola” berbeda. Situasi Ipoleksosbud tekom/dunia pada saat suatu negara memulai pembangunan berbeda.

Ambil saja bagian ek (onomi); te (knologi) dan kom (unikasi). Kesempatan melakukan penanaman modal dewasa ini jauh berbeda dengan masa negara-negara maju memulai pembangunan ekonominya. Pasaran ekspor semakin jenuh. Tapi sekarang untungnya teknologi tak perlu susah-susah mencari. Teknologi telah dijajakan seperti teh botol yang dapat dicari di warung. Demikian juga pengetahuan dan tenaga ahli (asing). Tinggal comot saja, asal berani rogoh kocek. Ini berkat kemajuan komunikasi. “Nah Tow, bagaimana kamu bisa nyerocos memberikan nasehat yang bukan-bukan?” kata Kuznets menyudahi omongannya.

Rostow kini mendeliki Kuznets. Cara dagangnya. Kuznets ini kok usil banget sih?” jawab Rostow. Bibirnya masih menempel pada sedotan New Coke Indonesia Formula. Campuran dengan pasak bumi. Pola pertumbuhan seperti yang berlaku di Afrika Hitam menunjukkan gejala yang sama, kata Rostow melanjutkan argumennya. Pembinaan prasarana, pendidikan satu generasi manusia modern, penciptaan institusi-institusi yang dapat menyerap teknologi dan mengerahkan modal, perluasan pertanian untuk memungkinkan kota-kota yang bertambah besar memperoleh makanan dan penciptaan kapasitas untuk memperoleh lebih banyak hasil ekspor. Jenis-jenis industri yang mula-mula dikembangkan cenderung untuk tetap berupa barang-barang konsumsi sederhana termasuk yang paling klasik, yaitu tekstil. Sesudah lepas landas terdapat sub sektor industri teknik, kimia dan elektris yang belum dikenal pada masa lalu. Penumpukan modal yang terjadi bersamaan dengan makin dewasanya teknologi di negara-negara seperti Meksiko, Iran, Taiwan dan Turki, menunjukkan gejala yang sama dengan yang terjadi di Amerika sesudah Perang Saudara, Jerman sesudah 1870, atau Jepang sesudah 1905. Rostow bangkit mengakhiri argumennya. Ia harus kembali ke kantor, sebab pihak bouwheer telah menunggu presentasinya. (Akuntansi No. 25 – Agustus 1986)


MODEL

Seorang peragawati berlenggak-lenggok di atas catwalk. Penuh pesona. Tubuhnya dilapisi gaun-gaun yang terasa pas. Penonton pun bergumam. Dan tanpa terasa meneguk air liur. Betapa serasinya! Betapa cantiknya model itu! Tapi, jika gaun-gaun itu kemudian ia beli, dan dipakai sang istri, ternyata tak semua cocok dengan pemakainya. Ada yang kedombyongan. Tak jarang malah membuat si pemakai kelihatan norak. Megapa bisa begitu? Modelnyakah yang salah? Karena ia telah menipu pandangan orang.

Model, bagaimanapun, adalah bentuk simplifikasi. Dia hanya menerangkan hubungan sebagian kecil faktor. Sebagian besar yang lain dianggap konstan (ceteris paribus) atau dapat secara otomatis mengadaptasikan diri terhadap perubahan yang dikehendaki (mutatis mutandis). Ketika gaun itu terasa pas di tubuh sang model, ada anggapan bahwa tata lampu, ruangan dan usia dianggap konstan. Artinya sama dimana-mana. Indahnya sang model hanya ditunjukkan oleh bentuk dan warna gaun dengan tinggi badan dan warna kulit.

Orang yang biasanya keranjingan model adalah ahli ekonomi. Segala macam teori dimodelkan. Tak jarang keputusan besar hanya didasarkan atas hasil perhitungan model. Para perencana ekonomi, misalnya, banyak terbius oleh model Harrod-Domar. Model ini berbicara tentang tingkat pertumbuhan ekonomi (yang diinginkan) dangan investasi dan tabungan yang diperlukan. Jadi hanya ada dua faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor lain, seperti perusahaan, manajemen, teknologi, pendidikan dan riset, yang juga sangat penting dalam pembangunan, diabaikan. Mereka dianggap konstan. Atau secara, otomatis dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang diinginkan oleh model.

GUNNAR Mydral, dalam Asian Drama-nya menghojat model-model yang hanya menitikberatkan pada variabel-variabel ekonomi tadi. Myrdal, seperti halnya Albert O. Hirchman, Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson, mencoba memasukkan faktor-faktor non ekonomi dalam model-model yang mereka ciptakan. Namun, betapapun kompleksnya sebuah model, tak ada jaminan, modellah yang membuat berhasilnya pembangunan.

MODEL, pada akhirnya, hanyalah sebuah etalase. Tempat memajang barang-barang dagangan, agar menarik. Agar hubungan antara hasil dan usaha dapat terlihat lebih nyata sebelumnya. Lebih-lebih lagi, model dapat digunakan untuk tawar menawar jumlah bantuan luar negeri yang diperlukan.

Ternyata, model, ada gunanya juga. (Akuntansi No. 3 – Maret 1987)


AGENT OF DEVELOPMENT

BETAPA beratnya jadi aparat pemerintah. Bintoro Tjokroamidjojo dalam Pengantar Administrasi Pembangunan (1985) setidaknya menyebutkan adanya empat fungsi tambahan disamping fungsi pokoknya yaitu pelayanan masyarakat (public servant). Keempat fungsi tersebut adalah sebagai unsur pembantu, pemimpin, analis dan pembentuk kebijakan serta pengambil keputusan. Pendeknya, keempat fungsi tersebut dapat diringkas menjadi agent of development.

MAKA, yang namanya aparat pemerintah itu, memang harus berkualitas lebih dari rata-rata orang. Mereka harus berotot kawat bertulang baja. Berani kerja tanpa mengenal tempo. Sebab, kepadanya dibebani tugas yang tidak kepalang tanggung berat dan mulianya, sebagai agent of development sekaligus public servant.

TAPI, seperti layaknya orang beristri dua, aparat pemerintah juga sering lupa syarat adil yang harus dipenuhi. Posisi mendua seharusnya bertindak seperti pendulum. Bergeser secara teratur ke kanan dan ke kiri. Jadi, dua-duanya kena. Tidak nyangkut di salah satu sisi (yang lebih mengenakkan tentu). Dan dalam hal fungsi ganda birokrasi, cilakanya, bobot “enak” itu tidak sama. Siapa mau dianggap pelayan, walau mulia sekalipun? Sebaliknya, betapa kerennya menyandang nama agen pembangunan!

SAYANGNYA lagi, banyak para ahli yang terpesona dengan nama keren agen pembangunan itu. Lihatlah buku-buku tentang administrsi pembangunan. Yang dibahas di dalamnya selalu tentang kehebatan birokrasi dalam mengkutak-katik roda pertumbuhan dan perubahan (growth and changes). Sebab, itulah kunci-kunci pembangunan. Sedang pelayanan masyarakat? Wah, itu tugas babu. Tak layak dibahas dalam buku. Pandangan ini, pada gilirannya, menggumpalkan sikap. Bahwa birokrasi adalah superior, mengatur masyarakat, bukan melayani. Justru masyarakatlah yang harus melayani birokrasi. Tapi, posisi seperti ini hanya mungkin jika independensi aparat terhadap masyarakat, dari segi keuangan, dapat dipertahankan. Jelasnya, posisi itu hanya mungkin bila keuangan negara, sebagian besar bukan berasal dari rakyat.

PENGALAMAN negara-negara berkembang memang menunjukkan bahwa peranan pemerintah sebagai pendorong pembangunan amatlah menentukan. Tapi, hal itu dimungkinkan oleh karena ekonomi campuran yang terdapat di neara-negara tersebut ditandai dengan besarnya pemilikan dan kontrol pemerintah terhadap sumber-sumber ekonomi. Di samping itu, masalah jurang kembar dalam pembangunan berupa kekurangan dana dalam mata uang lokal dan asing, pada umumnya dipecahkan dengan mencari pinjaman dari luar negeri. Sumber-sumber pembiayaan yang mengakar dalam masyarakat, berupa pajak dan ekspor, kurang dapat digali.

BAGAIMANA kalau keadaan mengharuskan pemerintah untuk membiayai pembangunannya dari sumber-sumber yang berasal dari akar masyarakat? Lewat investasi swasta, lewat pajak, lewat strategi export led industry. Kawan, kalau demikian perlu terjadi transformasi fungsi dari sudut aparat pemerintah. Pendulum harus bergeser ke arah pelayanan masyarakat. Dan … melayani masyarakat toh tidak jatuh gengsi. (Akuntansi No. 3 – Maret 1989)


OOO UUU WO

Kalaulah memang kita berpisah

Itu bukan suratan

Mungkin ini lebih baik

Agar kau puas membagi cinta

Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku

Dulu segenggam emas kau pinang aku

Dulu bersumpah janji di depan saksi

Ou wow … ou wow

(Hati yang Luka : Obbie Mesakh)

Genderang duka ditabuh sudah. Tertutup kesempatan bagi lagu-lagu kategori sontoloyo unjuk rasa di arena promosi. Regulasi telah dikeluarkan. Lagu-lagu cengeng tak layak ditayangkan. Di kotak elektronik. Tenggorokan yang seenaknya ber-ouwow haram nampang di kaca bergambar itu. Alasannya? Ya karena sontoloyo itu tadi. Dalam era pembangunan, tak selayaknya kuping dicekoki dengan irama mendayu-dayu. Bisa-bisa orang jadi berjiwa tempe dan bersemangat kintel. Etos kerja dapat terganggu karenanya.

Lirik dan lagu memang sering dicoba untuk menggebrak perilaku. Lirik dan lagu yang sigrak digunakan untuk menyalakan gejolak jiwa, yang kemudian tercermin dalam perilaku. Seperti perusahaan-perusahaan yang memutar lagu kebangsaan perusahaannya untuk mendorong gairah kerja. Anggapan orang adalah hanya lagu-lagu yang bernada semangat sajalah yang mampu menggugah gerak. Seperti lagu-lagu yang mengiringi senam pagi atawa taisho. Lagu-lagu sayu hanya cocok untuk menghantar mimpi. Walapun jangan lupa, banyak karyawan yang tambah asyik bekerja jika diiringi lagu-lagu kesayangannya. Lagu-lagu sontoloyo? Ouu wo itu adalah lagu comberan. Dampaknya dapat melemaskan otot dan melemahkan pikiran. Mengajar orang untuk berserah pada nasib. Maka nasib pula jika lagu-lagu itu terbuang ke tong sampah.

Lirik dan lagu adalah hasil dari proses kreasi. Didasari atas pikiran murni. Lirik dan lagu adalah pengejawantahan kalbu. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di benak. Tapi dosakah jika proses kreasi dikotori pamrih pribadi? Uang misalnya. Apa gunanya orang menciptakan sonata yang indah jika tak ada yang sudi mendengarnya. Salahkah dalam mencipta lagu pertimbangan bisnis ikut diperhitungkan? Sebab, jangan lupa, lagu-lagu yang disebut sontoloyo tadi, anehnya laris bukan main. Obbie Messakh, menurut penuturan TEMPO, menangguk 75 juta dari lagu yang dianggap sontoloyo tadi. Jumlah itu bisa berarti sekitar 300 bulan gaji pegawai negeri GOLONGAN IV. Betharia Sonatha, penyanyinya, kebagian mobil Honda baru.

Dari sudut pandang ekonomi (pasar) laris berarti banyak permintaan. Dan permintaan berkaitan erat dengan produksi dan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja. Dan adakah yang lebih indah dari penciptaan lapangan kerja dewasa ini bagi pembangunan. Ouuwo! (Akuntasi No.10 – Oktober 19..)


P A H L

Ada sebuah bank desa nun jauh di Jerman Barat sana. Koperasi kredit Raiffesien di Pahl. G. Melf ( 53 ), pimpinan koperasi kredit tersebut, yang pagi itu menjadi tuan rumah rombongan kami, tak menampakkan sosok seorang bankir, yang konon harus berdasi dan dandy. Tapi, ia telah 30 tahun memimpin bank koperasi di desanya. Suatu pengabdian yang luar biasa! Dan, kinerjanya cukup lumayan. Koperasi kredit tersebut mempunyai 210 anggota, sementara jumlah penduduk Pahl yang merupakan.wilayah kerjanya hanya 15.000. Total aktiva bank koperasi adalah DM 6,8 juta pada kahir tahun 1980. Laba bersih yang diraih tahun yang bersangkutan adalah DM 40.000. Dengan peralatan yang cukup modern, Melf hanya ditemani seorang pegawai ( 1987 ), yaitu isterinya.

PERJALANAN koperasi kredit yang didirikan 20 Februari 1895 itu tak selamanya mulus. Sebelum memiliki gedung sendiri, 1967, transaksi terjadi di rumah-rumah penduduk, pada akhir minggu pagi setelah persembahyangan di gereja. Pada waktu mulanya, usaha koperasi kredit ini, seperti halnya koperasi-koperasi di tingkat desa, bergerak dalam pemberian kredit dan commodity trading. Kini, layaknya sebuah bank, usaha Bank Koperasi di Pahl, lebih dititikberatkan pada money business.

ADA kesan khusus yang terbawa ketika meninggalkan koperasi kredit itu. Kesan tersebut makin mengental setelah keluarnya Paket Oktober 1988. Yaitu bentuk lembaga keuangan yang cocok untuk desa. Sesuai dengan salah satu maksud Pakto 1988, monetisasi desa. Dan yang lebih penting lagi, monetisasi itu dilakukan melalui lembaga-lembaga formal. Tidak melalui renternir yang informal. Monetisasi desa yang formal memudahkan pemantauan alokasi dan perputaran uang di desa.

ADA tiga bentuk lembaga keuangan bank yang mungkin diterapkan dalam rangka monetisasi desa. Pertama adalah bank yang didirikan di desa merupakan cabang bank besar yang telah ada (branch banking system). Bank Rakyat Indonesia telah lama menerapkan sistem ini melalui BRI – Unit Desa-nya. Juga Bank Pembangunan Daerah dengan Badan Kredit Kecamatannya. Banyak yang menyatakan bahwa program simpedes dan kupedes yang disalurkan melalui bank-bank itu cukup mengesankan hasilnya.Tapi perku diteliti lebih lanjut, apakah sebagai unit desa, bank-bank unit desa itu cukup menguntungkan? Disamping itu, apakah bank-bank ini sudah dapat optimal menunjang monetisasi desa? Bentuk kedua adalah bank desa yang independen (independent rural banking). Dalam sistem ini, bank desa tidak mempunyai kaitan apapun dengan bank yang lain. Bank tersebut didirikan oleh pemodal-pemodal sebagai bank yang badan hukum maupun usahanya bediri sendiri. Para rentenir di desa dapat memformalkan usahanya dalam bentuk ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, sama dengan branch banking system, apakah bank tersebut dapat menguntungkan? Para renternir sampai saat ini dapat menangguk keuntungan karena mereka tidak harus menanggung biaya overhead yang besar dan praktis tidak ada biaya untuk memenuhi peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Walaupun kalau diformalkan, mereka dapat menarik dana yang lebih besar lagi dari masyarakat, tapi apakah pasar penyaluran dananya cukup untuk menghasilkan keuntungan? Dalam sistem ini, kekhawatiran bisa timbul jika ada spekulan-spekulan yang hanya dapat menarik dana dari masyarakat dan membawanya kabur. Bentuk yang ketiga adalah bank koperasi (cooperative banking system). Dalam sistem ini, antara pemilik, penyedia dan penerima dana menjadi satu. Ada risk sharing di sini. Yang dapat menghindarkan usaha spekulasi. Ada pula keselarasan pasar penarikan dan penyaluran dana. Kekakuan hubungan bank nasabah yang selama ini dikeluhkan dapat dipatahkan. Ada pengawasan yang melekat antar anggota yang merupakan pemilik sekaligus nasabah. Dan jika bank-bank koperasi di tingkat desa ini, pada tingkat atasnya, bergabung dalam suatu bank koperasi tingkat sekunder, kemudian bergabung lagi menjadi induk bank koperasi, maka terciptalah suatu cooperative banking network secara nasional. Strategi manakah yang perlu dipilih? (Akuntansi No.2 – Februari 1989)


SEKTOR INFORMAL

MEREKA berdiri mencangkung, bertelekan sekopnya. Matahari pagi menyengat kulitnya, yang berbalutkan kaos kumal dan celana hitam komprang, model centeng. Topi pandan yang lusuh menutupi matanya yang sayu menembus hingar bingarnya lalu lintas Jalan Gatot Subroto. Pabila sebuah truk lewat, dan melambatkan jalannya, mereka berebutan naik. Hari ini aku bekerja, katanya.

Di Salemba, seorang terbirit-birit menyeret gerobaknya. Beberapa piring jatuh, pecah berantakan. Sebuah truk berhenti tak jauh dari situ. Sarat dengan gerobak-gerobak yang sama. Petugas yang berseragam “Tibum“ (Ketertiban Umum) sibuk membongkar tenda dan melemparkannya ke dalam truk. Terdengar peluit yang menjerit-jerit dari seorang polantas yang berlari sambil menendang becak-becak yang mangkal di ujung jalan itu.

Menyedihkan memang, puak yang sering dituduh mencemarkan ketertiban dan keindahan kota ini. Habis mau bagaimana lagi? Menganggur merupakan barang mewah di Indonesia. Belum ada tunjangan pengangguran yang memungkinkan orang sengaja menganggur, sementara kekayaan yang dikumpulkan kebanyakan tak cukup untuk membiayai untuk keinginan itu. Jadi, kalau tak ada sahabat atau keluarga yang mau ditumpangi, orang musti bekerja. Apa saja, asal hidup. Bukankah malu menjadi benalu terus menerus? Tapi, betapa susahnya cari kerja. Menjadi ambtenaar ? Bukan alang kepalang banyaknya saingan. Buruh pabrik ? Plang “tak ada lowongan“ menghadang pintu halaman. Bahkan ribuan karyawan korban pehaka berbaris meninggalkan pabrik yang cerobongnya tinggal seperempat mengepul. Senyum getir menghiasi bibir mereka. Menyambut pendatang baru, yang malu-malu berdiri di muka pintu sambil mengepit map. Ijazah SMA ada di dalamnya. Maka, yang bisa mereka lakukan adalah menyerbu lapangan pekerjaan yang tak memerlukan seleksi. Itulah sektor informal. Jadi tukang bakso, tukang becak, tukang gali, dan pedagang kaki lima.

Sektor ini merupakan “pelarian“ bagi mereka yang terdepak dari sektor formal. Dan “muntahan“ sektor pertanian yang membludag tak kuat menampung. Kumuh dan menjijikkan. Sumber keonaran. Tapi, adakah yang mengira, sektor ini menyerap 70% dari tenaga kerja yang ada? Adakah yang menduga sektor perdagangan yang 90% pekerjaan berada di sektor informal itu menyumbangkan 16,6%. Produk Domestik Bruto 1980? Padahal, pekerja di sektor ini hanya 13% dari seluruh jumlah pekerja yang ada. Adakah yang membandingkan dengan sektor industri, yang sektor informalnya hanya 48% dan menyumbang PDB 15,3%, sementara jumlah pekerja di sektor ini hanya 9,1% dari seluruh jumlah pekerja? Bukankah itu membuktikan produktivitas sektor informal tak begitu kalah dengan sektor formal? Belum terungkapkah bahwa sektor informal ini merupakan peredam buat sektor formal yang ngos-ngos-an diterjang resesi?

Dari sebuah gubuk pemungut puntung rokok seorang anak membacakan sajak Chairil Anwar.

Aku ini binatang jalang,

Dari kumpulannya dibuang.

Ah, anak itu salah eja. (Akuntansi No.23 – Juli 1986)


U A N G

DI LEMBATA, ada hari tanpa uang, Yaitu, ketika kebutuhan dipuaskan dengan tukar menukar. Ah, betapa primitifnya kau Lembata! Di abad modern ini, betapa terasa kerdilnya hidup tanpa uang. Tapi, kau juga dapat merasa bahagia Lembata, sekali-sekali dapat melupakan dewa ekonomi pasar itu. Tanpa uang, kau tak bakal sakit jantung memikirkan rugi devaluasi. Dan tak perlu pusing dengan teori PPP (Parity of Purchasing Power). Juga, kau tak perlu kecil hati Lembata. Sebab di abad ini, banyak negara mengikuti jejakmu. Kebijakkan imbal beli bukan barang baru lagi dewasa ini. Bukankah itu berarti kau berada di arah yang tepat?

Ekonomi barter memang berkembang jauh sebelum munculnya ekonomi uang. Model pertukaran berdasarkan status, misalnya, telah dikembangkan pada jaman Aristoteles. Dalam model ini, pertukaran didasarkan atas kepentingan masyarakat seluruhnya. Tak boleh ada keuntungan atau kerugian bagi individu. Pertukaran didasarkan atas azas resiprositas dan diukur dengan status masing-masing individu dalam masyarakat.

Sumbangan Aristoteles yang utama, dengan model pertukaran resiprositasnya, adalah lahirnya teori tentang nilai. Yaitu dasar untuk mengukur pertukaran tersebut. Dan uang, sebagai alat pengukur nilai dalam pertukaran, dikembangkan oleh Bapak ekonomi: Adam Smith pada abad 18. Muncullah ekonomi pasar dengan tangan-tangan tak kentara (insivible hands) yang mengaturnya. Dengan sistem ini, keseimbangan totalitas masyarakat runtuh sudah. Sebab, pertukaran dalam ekonomi pasar itu memperkenalkan laba bagi individu. Dan keuntungan bagi seseorang adalah kerugian bagi orang lain. Adam Smith memang bapak kapitalisme.

Kemudian, Keynes menambah semaraknya peranan uang dengan mengatakan bahwa permintaan akan uang (demand for money) tidak hanya didasarkan atas kebutuhan untuk transaksi dan berjaga-jaga. Tapi juga untuk spekulasi. Artinya, uang digunakan untuk mencari keuntungan.

DI LEMBATA memang ada hari tanpa uang. Yaitu, ketika ekonomi barter masih dipraktekkan. Tapi, kejadian di pulau nun jauh diujung Timur itu, dewasa ini hanyalah ritual belaka. Ketika Honda, Seiko dan Ajinomoto telah melangkahkan kakinya ke pulau itu, dapatkah mereka bertahan pada konsep subsitem yang dianutnya. Sementara pendatang baru itu, dengan mega-marketing technologynya, melemparkan senyum dan memamerkan gebyar-gebyar kehidupan yang lebih memikat. Kesima masyarakat traditional itupun, dapat dipastikan, hanya sejenak. Selanjutnya, mereka akan berburu meraihnya. Itu saatnya ia mulai terseret dalam kancah negosiasi uang. Dan memang, dapatkah sekarang ini kita hidup tanpa uang, sebenarnya? (Akuntansi No. 27 – Oktober 1986)


MONETISASI DESA

Ingin mendirikan bank? Mudah saja! Cukup bermodalkan Rp 10 milyar. Atau, kalau puas bergerak di tingkat desa, doku Rp 50 juta sudah mampu mengangkat derajat menjadi bankir (desa). Uang sejumlah itu, bukan barang langka lagi, juga untuk ukuran desa. Urusan tetek bengek bank, tak lama lagi, bukan hanya monopoli orang kota. Jangan heran, kalau suatu kali melihat pak tani dengan buku cek di kantong celananya, selagi membajak sawah.

DEREGULASI, yang dikenal dengan Pakto 27, membabat liku-liku dunia perbankan. Izin bank yang selama ini berharga milyaran, tersungkur bak kertas tak berharga. Pasar jasa itu terbuka lebar bagi siapapun yang berminat. Namun, perlu diingat, bahwa deregulasi di bidang moneter ini akan menggiring usaha perbankan untuk bekerja menurut mekanisme pasar. Artinya, mereka harus berlomba ketat satu sama lain agar tetap dapat bertahan. Profesionalisme perlu dipacu untuk itu. Tak cukup hanya dengan rupiah di saku.

SEORANG bankir mustilah piawai dalam menarik dan memasarkan dana. Tak boleh satu- satu. Lihai menarik dana tapi tak mampu memasarkan? Dapat diperkirakan sebentar saja bank yang bersangkutan akan oleng. Sebaliknya, jago memasarkan dana tapi tak dapat menarik dana dari masyarakat? Ini sama saja nafsu besar tenaga kurang.

DAN, kalau bicara menarik dana dari masyarakat, sesuai namanya, itulah dana milik masyarakat. Jadi bukan milik pendiri atau pengelola bank. Ini berarti para bankir itu, dalam memasarkan dananya, ikut memepertaruhkan milik orang lain. Bahkan dapat dipastikan bahwa dana milik orang lainlah yang lebih banyak. Apalah artinya Rp 10 milyar dalam usaha pasar-memasarkan uang? Bagi masyarakat yang menaruh uangnya di bank ada imbalan memang. Dan hukum risk-return trade-off juga berlaku dalam usaha penarikan dana ini. Bagi mereka yang mengerti urusan portfolio management termasuk penanaman dalam deposito di bank, hukum itu seolah dalil yang harus dihafalkan.

SALAH satu terobosan yang ingin dicapai dari Pakto 27 adalah monetisasi desa. Bukan berarti selama ini desa tak mengenal uang sebagai alat pertukaran. Pakto 27 memacu arus perputaran uang giral pada masyarakat desa. Mencoba mencutik simpanan-simpanan yang selama ini dilakukan dalam bentuk hoarding. Atawa mengguyur dana-dana produktif untuk investasi. Lewat lembaga perbankan. Motto: Bank Masuk Desa dicanangkan lewat paket deregulasi kali ini. Walaupun Bank Rakyat Indonesia telah masuk ke desa-desa, namun gaungnya jauh lebih lemah dibandingkan dengan efek Pakto 27.

DALAM kaitannya dengan ekonomi desa, Pakto 27 jelas merupakan suatu inspirasi yang cukup berani. Ia memperkenalkan mainan risiko kepada masyarakat desa. Artinya, masyarakat desa diajak untuk berpikir berdasarkan hukum risk-return trade-off dalam menanamkan portfolionya. Adakah sesuatu yang baru dalam hal ini? Sebetulnya tidak juga! Dalam kehidupannya sehari-hari masyarakat desa juga telah menghadapi pilihan risk-return ini. Para ahli ekonomi desa dari barat sering mengatakan bahwa para petani kita tidak berpikiran rasional. Mereka mempertanyakan, misalnya, mengapa para petani tidak mau mengikuti cara-cara bertani yang baru dan lebih modern padahal imbalannya jauh lebih besar dibandingkan dengan cara yang mereka anut. Kalau dikaji lebih lanjut, tidak bersedianya para petani itu memilih cara bertani baru yang lebih modern adalah karena mereka menggunakan analisis risk-return trade-off ini. Bagi mereka risiko yang ditimbulkan dari cara-cara baru tersebut demikian besarnya hingga mengalahkan imbalan yang dijanjikan. Sebab, jika cara baru tersebut meleset, yang dpertaruhkan adalah hidup mati mereka.

LALU, apanya yang disebut berani dengan Pakto 27? Yang berani adalah karena jenis komoditi yang ditawarkan. Analisis risk-return trade-off yang harus menjadi pekerjaan rumah masyarakat desa sehubungan dengan Pakto itu adalah portfolio. Sesuatu yang sangat baru bagi mereka. Lantas demostration effect dan advertensi serta kemungkinan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan masyarakat desa berpetuah: “Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”. (Akuntansi No. 12- Desember 1988)


THE EXCHANGE LOSSES

Siapa sangka negarapun bisa menderita rugi karena perbedaan kurs? Indonesia mengalaminya. Juga banyak negara berkembang yang lain. Jumlah utang yang harus dibayar Indonesia membengkak hampir US$ 1 milyar hanya gara-gara Dollar jatuh dimata Yen. Currency realignment yang terjadi pada mata uang dunia membuat negara-negara berkembang serasa sembelit dililit utang. Padahal masing-masing negara itu punya otoritas moneter di wilayahnya. Jadi, nyata benar, betapa negara yang mata uangnya lemah terombang-ambing oleh gejolak kurs di pasar dunia, yang nota bene ditentukan oleh kurs dollar terhadap yen dan deuthche mark.

RUGI KURS (exchange losses) bagi perusahaan adalah sesuatu yang berada di luar kontrolnya. Sebab, penetapan kurs bukan dia yang menentukan. Maka, yang dapat dilakukan perusahaan adalah mencari strategi yang dapat mengurangi kemungkinan dideritanya rugi macam itu. Walaupun, sering terjadi, rugi kurs adalah barang yang tak dapat dihindari. Maka, nasiblah yang menyebabkan terjadinya rugi kurs di perusahaan.

Nasib jugalah yang menyebabkan suatu negara menderita rugi kurs. Melorotnya mata uang Dollar terhadap Yen dan Deutsche Mark sampai sebesar yang terjadi dewasa ini, tak seorangpun dapat disalahkan. Negeri pengutang? Tidak! Negeri-negeri itu terlalu lemah untuk dapat mengatur kurs Dollar dan Yen, serta Deustche Mark. Jepang dan Jerman Barat, yang memberi utang? Negara ini, terutama Jepang, sering dikritik karena enggan membuka pasar dalam negerinya untuk komoditi impor. Tapi apa mau dikata, kalau ekspor tetap deras mengalir dari negara itu. Amerika Serikat dengan defisit neraca perdagangan dan anggaran belanjanya? Tidak juga. Sebab, jika Amerika Serikat mengerem terlalu drastis neraca perdagangan dan anggaran belanjanya, akibatnya justru memukul balik negara-negara yang mengekspor barangnya ke negara Paman Sam itu. Tiga puluh prosen ekspor dunia lari ke Amerika Serikat. Dan jangan dikira, negara-negara itu tidak berusaha memecahkan masalah gejolak kurs ini. Sejak pertemuan Paris, kemudian Plaza, negara-negara industri yang tergabung dalam G7, selalu membahas bagaimana mempertahankan kurs yang stabil.

Maka, tidak heran jika akhir-akhir timbul banyak pemikiran untuk menghindari adanya rugi kurs tersebut. Usulan agar hutang valuta asing dibayar dengan kurs historis memang terasa nyaman didengar. Dengan cara ini rugi kurs karena gejolak pasar valuta asing dapat dihindarkan. Tapi, apakah usulan ini dapat disetujui oleh negara pemberi utang? Inilah yang menjadi masalah. Jepang ternyata spontan menjawab tidak. Cara lain, adalah dengan menghibahkan kenaikan pembayaran utang akibat kurs tadi. Dengan kata lain, negara pengutang tak perlu membayarnya. Ini juga enak. Dan, bagi negara pemberi utang ada efek psikologis bahwa ia telah memberi bantuan hibah. Kalau masih sulit, bisa kenaikan utang tadi diutangkan lagi, dengan syarat yang lunak. Lumayan bagi penerima utang. Paling tidak dapat mengatasi masalah cash flow dalam jangka pendek. Bagaimana kalau Dana Moneter International menyediakan fasilitas swap? Boleh juga asal disepakati semua pihak. Yang jelas, jadi negara pengutang memang tidak enak. (Akuntansi No. 11- November 1981)


FLIGHT OF CAPITAL

Sumarlin menggebrak. Dan bank-bank pun lenggek-lenggek. Teler! Hanya dalam jangka waktu satu bulan, Sumarlin dalam gebrakannya, Juni 1987 lalu, mampu menggiring kembali US$ 1 milyar dana yang diparkir di luar negeri. Pada waktu itu penguasa moneter, memang sedang memeras otak untuk membujuk rupiah agar mau pulang kandang. Rupiah, saat ini memang lebih senang nongkrong di negeri orang. Kayak jejaka kasmaran lagi ngendon di rumah si doi.

Semua itu sebenarnya gara-gara ambruknya perjanjian Bretton Woods, 1973. Perjanjian, yang dibuat tahun 1946 itu mengatur penentuan nilai kurs mata uang negara-negara partner dagang di dunia. Dalam sistem ini dianut kurs tetap (fixed exchange rate). Sejak 1973, banyak negara industri meninggalkan sistem tersebut. Menggantinya dengan apa yang disebut managed float. Artinya, sampai sejauh tertentu, kurs mata uang dibiarkan mengambang, mengikuti supply dan demand.

Tapi, wo…alah setelah kurs dibiarkan mengambang, arahnyapun susah dikendalikan. Turun, naik, turun, naik seperti gelombang. Berlenggang-lenggok kayak ular berjalan. Mengikuti neraca pembayaran. Jika neraca pembayaran njomplang, dan cadangan devisanya tepos, nilai mata uang pun anjlok. Maka, orang pun berlomba membuang barangnya di pasar seberang. Ekspor! Ekspor! Kata para penentu kebijakan ekonomi. Dan, karena pasar dunia hanya satu, kalau ada yang menang, pasti yang lain terjengkang. Hukum Pareto menjadi tatanan. Kini korbannya adalah Amerika Serikat. Negeri paman Sam ini sampai terbirit-birit menghadapi badai ekspor dari Jepang, Jerman dan sekarang new industrial countries.

Nilai tukar, ternyata, juga peka terhadap perbandingan tingkat harga. Melalui teori PPP (Purchasing Power Parity). Jika inflasi menggila, nilai uang akan turun di mata luar negeri. Sebab, jika tidak, harga barang luar negeri akan terasa murah. Impor pun membeludak, dan neraca pembayaran kocar-kacir.

Sisi lain akibat berubahnya sistem nilai tukar adalah munculnya spekulasi. Ketika kurs jadi ketidakpastian. Yang, ada, kemudian, adalah ekspektasi rasional. Dan, orang pun memarkir dananya pada mata uang, yang, menurut ekspektasinya, akan menguat. Capital gain … mas …capital gain! Itulah yang mereka harapkan. Di samping, tentu saja, penghasilan dari kapital itu sendiri. Mata uang, sekarang, jadi bagian porto folio.

Tapi, ada sebab lain mengapa orang menaruh uangnya di luar negeri. Diversifikasi risiko! Dana yang dipunya harus disebar dalam berbagai mata uang dan negara. Sehingga, kerugian di satu tempat dapat ditutup oleh keuntungan di tempat lain. Kemajuan tehnologi komunikasi memungkinkan semua itu. Jika motif ini yang menjadi sebab larinya modal ke luar negeri, betapapun tingginya imbalan di dalam negeri, dalam jangka panjang, modal akan tetap berada di mancanegara.

Salahkah mereka? Tidak! Itu merupakan bagian dari permainan usaha belaka. Dan tendensi ini berlaku di seantero jagad. Usaha memperkecil risiko adalah manusiawi dalam dunia usaha. Sebab pada dasarnya, orang tidak suka pada risiko. Mereka adalah risk averter. Kebijakan ekonomi, dengan demikian perlu jeli terhadap motif investasi dalam porto folio. Diversifikasi risikokah? Atawa sekedar spekulasi?

Kebijakan mendorong ekspor dan pengendalian inflasi, dengan demikian merupakan resep ampuh untuk manajemen kurs. Ini akan mengakibatkan nilai tukar relatif stabil. Dan motif spekulasi dari pelarian modal ke luar negeri, dapat dipatahkan. Sedangkan motif diversifikasi? Jalan terbaik, adalah menyediakan iklim yang sehat dan aman buat investasi. Sehingga orang-orang luar negeri, yang punya banyak uang dan ingin diversifikasi meliriknya buat saluran hasrat investasi.

Tapi, ekspor, inflasi dan iklim investasi, ternyata bukan barang yang mudah untuk dikotak-katik dengan kebijaksanaan. Tak semudah orang mengatakan. Berbagai jurus telah dilemparkan, namun hasilnya tak seperti diharapkan.

Exodus modal tetap menjadi momok. Labyrinth tetap melingkar. Dan kebijakan lain tak sempat dapat tempat. (Akuntansi No. 5 – Mei 1985)

SELF ASSESMENT

Seorang petani kecil, Taba, dijatuhi hukum denda f 7.20 karena tak mampu membayar sewa tanah. Keputusan Landraad Meester Cornelis ( Jatinegara ) ini, tentu saja, tidak dapat dibayar. Rumah Tabapun dilelang. Dan hanya laku f 4.60. Sebelumnya, massa, di bawah pimpinan Entong Gendut, berkerumun menghalangi pelelangan. Namun mereka tak bisa berbuat lain kecuali menyumpah dan mengumpat.

Kejadian ini, merupakan salah satu dari gerakan protes petani. Masih banyak lagi yang lain. Sartono Kartodirjo dalam Protest Movements in Rural Java dan juga Ratu Adil, menyebutkan bahwa pajak dan sewa tanah serta beban-beban lain yang tak terpikul merupakan sebab utama dari gerakan-gerakan protes tadi. Apalagi kalau hal itu disertai dengan kesewenangan. Cerita-cerita lenong Betawi banyak melukiskan kesewenangan para centeng yang bekerja untuk bek atau tuan-tuan tanah kaya.

Tetapi, ada masanya dikala pajak tidak dianggap sebagai hal yang menakutkan. Ketika membayar pajak dilakukan dengan rela. Ketika menolak membayar pajak dianggap sebagai melanggar perintah “Yang di Atas“. Suatu pelanggaran yang tidak saja akan merugikan dirinya, tetapi dapat mendatangkan musibah bagi seluruh warga desa. Misalnya, pada zaman Mataram. Pada saat itu, pajak dipungut melalui upacara yang disebut pasowanan. Pada kala tertentu, Raja mewajibkan bupati-bupati bawahannya untuk datang menghadap (sowan). Sebagai tanda bakti. Tetapi pada saat itu pula Raja berkesempatan memungut pajak. Sebab, disamping sowan, para bupati tadi juga membawa upeti, pancen sang Raja.

Cerita pewayangan sering menyebutkan dengan asok bulu-bekti, glondong pengareng-areng. Pelangaran terhadap kewajiban sowan dan upeti dapat dianggap sebagai pembangkangan, yang berkonotasi pemberontakan. Kalau sudah demikian, Raja dapat bertindak, menumpas dengan kekuatan senjata. Sultan Agung selama lima tahun melibatkan 100.000 tentara untuk mengepung dan menaklukkan Surabaya. Hasilnya Surabaya hanya sanggup menyerahkan 40 real pajak (upeti).

Konsep pemungutan pajak melalui upacara sowan dan upeti tadi berlaku untuk semua jenjang pemerintahan. Raja kepada bupati; bupati kepada demang; dan demang kepada bekel (setingkat lurah pada jaman sekarang). Yang terakhir ini berhubungan langsung dengan penduduk dalam pemungutan pajak.

Lalu, mengapa rakyat kemudian membenci pajak? Orang menyebutnya karena trauma belasting. Dan biang kerok semua ini adalah, siapa lagi kalau bukan, Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena kelicikannya, VOC, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, makin memperoleh kekuasaan yang luas di Indonesia. Kekuasaan itu disertai dengan hak-hak yang melekat di dalamnya. Diantaranya hak memungut pajak. Oleh karena kekurangan tenaga, hak tadi kebanyakan dijual kepada kapiten-kapiten Cina kaya atau penguasa pribumi.

Dari sinilah sumber malapetaka itu terjadi. Pembeli-pembeli hak yang tidak mau rugi, membebankan berlipat-lipat kepada rakyat. Sering dengan kesewenangan. Dan Pemerintah Kolonial tidak mau peduli semua itu. Tidak aneh kalau pajak menjadi salah satu sebab utama gerakan protes petani di Jawa dan di tempat-tempat lain. Sejarahwan, Onghokham, mencatat lebih dari 100 kali pemberontakan petani di Jawa dari 1830 sampai 1908, yang disebabkan oleh pajak. Inilah trauma belasting. Bahwa pajak identik dengan penjajahan dan kesewenangan.

Pajak, apa boleh buat, memang sering dihadapi dengan cibiran. Masyarakat enggan menghadapinya. Bahkan tidak menyukainya. Suatu hal yang wajar. Sebab itu berarti kocek yang harus dirogoh. Ibarat anak kecil yang menangis kehilangan uang seratus rupiah. Ketika uang itu diganti ia tetap menangis katanya : “Kalau uangku tidak hilang, uangku akan menjadi dua ratus“. Demikian juga pembayar pajak. Kalau mereka tidak harus membayar pajak, penghasilan atau kekayaannya akan lebih besar. Tetapi, kalau demikian halnya, bagaimana kita harus bernegara? Dari mana negara dibelanjai? Konsep negara tanpa pajak adalah ilusi. Hampir tidak mungkin. Apalagi kalau kemandirian menjadi sasaran.

Memang tidak. Tidak ada negara tanpa pajak. Masalahnya adalah menumbuhkan kesadaran di mata masyarakat. Bahwa pajak merupakan salah satu kewajiban kenegaraan. Bahwa menghindari pajak merupakan suatu tindakan tercela. Orang harus malu bercerita (dengan bangga) bahwa ia dapat mengecilkan jumlah pajak dengan cara menyelundup. Seperti orang harus malu kalau ia bercerita tentang cara mencuri aliran listrik. Pajak seharusnya dianggap seperti halnya zakat bagi umat islam dalam hal kewajiban keagamaan. Inilah azas kesukarelaan. (suka rela yang bukan dalam arti membayarnya suka rela). Inilah self assesment. (Akuntansi No.18 – Januari 1986)


DEDE (BUKAN MC CALL)

Deregulasi dan debirokratisasi! Ah, betapa merdunya dua kata itu mendengung di kuping dewasa ini, Apalagi kalau sumbernya justru dari para birokrat itu sendiri. Apalagi untuk Indonesia yang oleh Karl D.Jackson dijuluki negara birokrasi. Dalam negara yang demikian, birokrasi adalah juga penguasa politik. Proses pengambilan keputusan politik terpusat pada kelompok yang relatif kecil. Yaitu birokrat itu sendiri, atau sebagian dari padanya. Dan ini mungkin, sebab mereka juga sangat dominan dalam perekonomian. Lain dengan negara-negara maju, yang birokrasinya hanya sekedar pelaksana administrasi pemerintahan saja.Tentang deregulasi, ini adalah akibat tak langsung saja dari debirokratisasi. Sebab, sumber regulasi adalah birokrasi itu sendiri. Birokrasi memang selalu ditandai dengan regulasi. Jadi kalau birokrasi sudah di “de“ kan, otomatis regulasi juga ikut ter “de” kan. Dua Kata “de“, jadilah Dede. Nama yang cantik dan menggiurkan. Sebab menjajikan keteraturan. Seperti Dede McCall dalam film seri Hunter.

Maka hembusan angin Dede, memang terasa menyejukkan. Memberikan harapan. Apalagi saat ini. Ketika strategi satu komoditi hampir menjebak langkah. Ketika ekonomi minyak yang dijadikan sumbu perekonomian mulai nampak kendor. Dan, seperti halnya lampu tempel atawa kompor. Jika sumbunya kendor, ia bisa melorot ke bawah. Terbenam dalam cekungan minyak yang jadi inti timbulnya api. Akibatnya bisa fatal. Kebakaran bisa saja terjadi.

Rejeki minyak, ternyata, tak selamanya ngocor mengisi kocek devisa kita. Dan akibatnya mudah diduga. Neraca pembayaran njomplang. Terasa ngos-ngosan untuk bertahan tak defisit. APBN pun ikut bergoyang. Penerimaan minyak melorot. Maka, anjlok pula potensi pemerintah menopang pembangunan. Dampaknya bereret ke segala sektor. Sebab, menurut perhitungan William Snyder, andil pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi 1969 – 1983 , hampir separonya. Bisa dibayangkan bila si penopang itu terhuyung-huyung dihantam badai oil glut.

Demam Dede, sampai pada batas tertentu, nampaknya, memang disebabkan oleh keadaan lingkungan. Artinya oleh faktor luar. Namun, perlu diingat tidak semua faktor dapat didedekan. Isu swastanisasi BUMN dengan alasan Dede, misalnya. Prof. Dr. Soemardi Reksopoetranto, dalam pidato pengukuhan guru besarnya, meminta agar regulasi dan deregulasi hendaknya telah memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Dasar yang perlu diperhatikan adalah UUD 1945 Pasal 33. Lebih penting lagi adalah jangan sampai dalam pelaksanaanya “deregulasi” hanya menjadi ”reregulasi”.

Dede memang dapat berarti mengecilnya peran birokrasi. Sektor swasta diharapkan lebih bergairah untuk berkiprah dalam kegiatan perekonomian. Ditambah dengan penggiatan perpajakan, jelas sudah arah yang ingin dituju. Bahwa pengelola perekonomian akan lebih diserahkan pada swasta. Dede, pada hakikatnya, lebih mengarah pada ekonomi pasar. Juga, dapat berakibat berubahnya status quo peran perekonomian. Dan bila benar kata orang bijak, bahwa antara kekuatan ekonomi dan politik ada inter-relasi. Adakah Dede akan berakibat pada sistem politik dan kekuasaan? (Akuntansi No. 8 – Agustus 1984.)


THE COST OF CAPITAL

Pada mulanya adalah Robinson Croesoe. Yang terdampar di sebuah pulau (karang lagi!). Untuk penghidupan, mata pencarian yang mapan hanyalah menangkap ikan. Suatu ketika Croesoe berpikir, jika ia mempunyai jala, ikan yang dapat ditangkap tentulah lebih banyak. Masalahnya adalah, kapan waktu tersedia untuk membuat jala. Sedang hasil tangkapan sehari-hari hanya cukup untuk makan. Croesoe pun lalu memutuskan. Ia harus tarak. Berakit-rakit ke hulu. Hasil tangkapan tak semuanya dimakan. Sebagian disisihkan untuk tabungan. Dan, ketika tabungan itu telah cukup. Ia dapat terbebas dari keharusan menangkap ikan. Waktunya digunakan membuat jala. (Entah dari mana ia dapat benang). Sekarang Croesoe tak perlu lagi tiap hari melaut. Sekali angkat jala ikanpun berlompatan. Dan dua tiga hari keperluan makan dapat disediakan.

Cerita di atas, merupakan pengenalan konsep-konsep dasar tentang pendapatan, konsumsi, tabungan, investasi, modal dan teknologi. Berkat teknologi, produksi tak lagi mengandalkan otot dan alam. Faktor produksi baru, muncul merajai pasaran. Dialah yang disebut modal (capital). Dialah yang merobek-robek tatanan ekonomi dunia. Yang dulunya baku hanya satu. Padahal masalahnya hanya sepele saja. Siapa berhak memiliki modal? Sistem ekonomi kapitalis menganggap individu yang mau menanggung risiko itulah berhak memiliki modal. Akumulasi modal adalah akibat wajar dari imbalan atas risiko. Sistem komunis lain lagi. Modal harus dimiliki kaum buruh. Sebab merekalah yang memeras keringat untuk produksi, dan yang berakibat dimungkinkannya akumulasi modal.

Rebutan modal wajar saja adanya. Sebab, ternyata, binatang satu ini peranannya terhadap kesejahteraan memang nauzubillah. Modal adalah identik dengan kesejahteraan. Tapi , seperti dalam cerita Croesoe di atas, modal adalah barang langka yang untuk memperolehnya perlu pengorbanan. Croesoe terpaksa harus mengurangi konsumsinya untuk dapat memperoleh barang modal yang diperlukan, yaitu jala. Celakanya, orang terlanjur percaya bahwa modal adalah prasarat buat kemajuan. Dengan teknologi yang berkembang dewasa ini, mana ada orang bicara investasi tanpa modal? Maka perlombaan menarik modal antar negarapun terjadi sangat ketat. Pemilik modal adalah raja. Dan modalpun makin mahal.

Susahnya memperoleh modal membuat orang-hati-hati menggunakannya. Ada tendensi, jika modal mudah diperoleh, efisiensi penggunaannya kurang diperhatikan. Apalagi kalau modal yang dikelola bukan modal sendiri. Atau bila alokasi modal tidak diputuskan oleh pihak yang akan mengelolanya. Yang terakhir ini bahkan akan mengkucar-kacirkan ukuran prestasi. Siapa yang bertanggung jawab jika modal yang ditanam tidak menghasilkan sesuai harapan? Yang mengalokasikan atau yang mengelola.

Model alokasi modal mustinya tidak tepat. Apalagi kalau yang mengalokasikan terpisah dengan yang mengelola. Apalagi juga kalau yang mengalokasikan terpisah dengan yang mengusahakan perolehan modal. Pemisahan antara yang mengusahakan perolehan modal dengan yang mengalokasikannya dapat mengakibatkan ketidakefisienan dalam alokasi. Sebab, pengalokasi sering tak menyadari bahwa modal ada biayanya. Mereka kadang melupakan unsur the cost of capital ini. Sedang pemisahan antara yang mengalokasi dan yang mengelola modal cenderung mengakibatkan ketidakefisienan dalam penggunaan. Sebab, sering terjadi pengalokasi kurang mengetahui modal yang diperlukan pengelola. Padahal modal barang langka dan mahal. Runyamkan jadinya, kalau dibuat permainan? (Akuntansi No. 9 – September 1988.)


ANAK SINGKONG

Aku suka jaipong, … kau suka disko,

O! O!

Aku suka singkong, … kau suka keju,

O! O!

(Anak Singkong : Aribowo)

Ada terminologi baru untuk menyatakan pertentangan. Anak singkong dan anak keju. Padahal singkong, kalau telah menjadi methanol, tak kalah dengan keju, yang sekedar input untuk output, yang namanya hajat. Istilah ini, tak ubahnya nama-nama lain yang dipakai, mengacu pada garis-garis vertikal, seperti tangga, yang harus dihadapi manusia.

Terdapat dua kemungkinan. Pasrah kepada kesingkongannya. Atau menghojat, meloncat, melewati beberapa deretan anak tangga. Kalau meminjam istilahnya Mao Ze Dong, langkah tadi disebut lompatan jauh ke depan. Dalam ekonomi, sering disebut akselerasi. Samuelson salah satu pembiaknya. Sayangnya, efek suatu usaha akselerasi, susah diatur. Mao Ze Dong kocar-kacir dengan program loncatan jauh ke depannya itu. Dan seperti kata Samuelson, akselerasi, merupakan penerapan teori dinamika dalam ekonomi. Unsur waktu, tak hanya obyek. Tapi juga penentu. Dan kalau waktu itu tentang masa depan, siapa dapat mengendalikan ketidakpastian? Efek interaksi dalam akselerasi, dapat bergejolak (explosive), dapat terendam (damped), bisa naik, bisa turun.

Masalahnya, sebetulnya, bukan susahnya membuat model akselerasi, yang memasukkan unsur ketidakpastian dengan segala tetek-bengek piranti asumsi. Masalahnya, adalah anggapan, bahwa akselerasi menunjukkan ketamakan, atau ketidaksabaran. Tidak runtun waktu. Cenderung menyimpang dari pakem. Tapi, bila harus naik setangga demi setangga, adakah waktu (pula) sabar menunggu? Kalau tiap negara berkembang, dengan beringas, meneriakkan program akselerasinya, dapatkah mereka dituduh tidak sabar dengan usaha-usaha pembangunan yang memperoleh bantuan dari negara maju? Sedang mereka, saat ini, dengan cengeng memainkan senjata tarif dan bea masuk untuk memaksakan kehendak. Kalau program akselerasi itu tidak dipupuk, adakah kemajuan harus datang dari belas kasihan mereka?

Proklamasi anak singkong memang sontoloyo. Seperti ucapan bangsa tempe yang berkonotasi rendah diri. Padahal, tempe ternyata tak kalah kadar proteinnya dengan makanan barat lain. Tapi mengapa lagu itu digemari? Dari anak-anak sampai orang tua. Penghuni gubuk maupun gedongan. Mengapa? Hm … barangkali … karena kita sontoloyo juga. (Akuntansi No. 5 – Mei 1987)


COWBOY

Amerika Serikat kian bingung saja. Kali ini yang jadi korban Singapura. Negara itu dikeluarkan dari kelompok negara yang memperoleh preferensi perdagangan. Padahal, menurut kriteria Amerika Serikat sendiri, Singapura belum layak dikeluarkan dari kelompok tadi. Alasan yang dikemukakan, Singapura, bersama Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong, tak dapat lagi dikategorikan sebagai negara berkembang. Negeri Paman Sam itu memang memberikan ketentuan khusus, dalam bentuk konsesi bebas bea terhadap negara-negara berkembang, yang biasa disebut sistem GSP.

Namun, ada yang lebih menyesakkan. Reagan, setahun sebelumnya, baru saja mengatakan, sistem GSP masih akan diterapkan untuk Singapura asal negara pulau itu melakukan tindakan khusus terhadap perlindungan hak cipta. Singapura mentaati ketentuan tersebut. Jadi, ada unsur ingkar janji di sini, yang tentu saja, ditolak Amerika.

Sementara itu, beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Amerika Serikat berkeliling Asia. Tujuannya mendesak agar negara-negara itu bersedia mengendorkan proteksinya terhadap barang-barang pertanian yang dihasilkan. Dengan demikian, hasil pertanian Amerika Serikat lebih mudah masuk. Amerika Serikat sendiri melakukan proteksi terhadap barang-barang pertaniannya.

Amerika Serikat memang menjadi tumpuan bagi banyak negara. Hampir 30% ekspor dunia masuk ke sana. Tak aneh sebenarnya. Negara Cowboy ini adalah pemenang dalam perang dunia kedua. Ketika hampir semua negara hancur, dia masih berdiri tegak. Bahkan, melalui Marshal Plan, membantu pembangunan negara-negara yang lebur akibat perang itu. Keadaan inilah, rupanya, yang ikut menggerakkan roda industri Amerika. Belitan resesi akhir dasawarsa 30-an terurai sudah. Industri Amerika malang melintang seantero jagat. Posisinya hampir mendekati monopoli. Dialah penentu pasar … dan politik dunia. Maka, Amerika tak gamang lagi bila harus “memberi pelajaran : bagi negara-negara keras kepala, yang tak mau tunduk pada kemauannya. Ia, baru kena batunya setelah terperosok dalam lumpur Vietnam. Kibasan sorban Iran membuatnya lebih tercemooh lagi. Aksi cowboy di tenda-tenda Lybia, pada hakekatnya, hanya ingin menunjukkan sisa-sisa kebesarannya.

Tapi, setelah luka-luka perang tersembuhkan, keadaan berbalik bakul. Industri Amerika, yang ternyata tak efisien itu, terjungkal di mana-mana. Pasaran mobilnya dilalap Jepang. Bahaya kuning dari Timur mengancam cerobong pabrik-pabrik tekatil mereka. Posisi moneternya goncang, termehek-mehek dibelit utang.

Amerika Serikat memang negara besar. Dan masyarakatnya selalu menganggap demikian. Itu tercermin dalam sikap dan perilaku. Industrinya selalu kedomboran dengan biaya overhead.

Dalam kedudukannya sebagai seorang monopolist, dulu Amerika masih dapat membebankan gaya konsumtif masyarakatnya kepada dunia. Sekarang, ia terpaksa kedodoran di setiap sudut pasar. Sebab, dunia pun, kini, makin sadar. Tak selayaknya mereka membiayai orang Amerika. Adakah sudah saatnya kita berucap : “Good Bye America?” (Akuntansi No. 3 – Maret 1988)



BAGIAN KETIGA

MANAGEMENT & BISNIS


INFORMASI

BETAPA miskinnya orang sekarang tanpa informasi. Bahkan Alfin Toffler dalam Third-Wave-nya menyebutkan kurun waktu ini sebagai abad informasi. Artinya, informasi akan menjadi komoditi penting bagi kehidupan manusia, termasuk bisnis. Artinya lagi, pengusaha harus selalu dekat dengan dan mempunyai akses terhadap informasi mutakhir agar tetap dapat bertahan.

TAPI, mengapa informasi menjadi begitu penting dewasa ini? Karena, diperlukan untuk pengambilan keputusan. Orang semakin sadar bahwa pengambilan keputusan tanpa informasi yang tepat dan akurat, ternyata sangat riskan. Walaupun demikian, sangat disadari bahwa semua keputusan selalu didasarkan atas informasi yang tidak sempurna. Sebab, informasi yang sempurna berkaitan dengan kemampuannya untuk menjelaskan atau mengendalikan masa datang. Tapi tidak ini saja, keterpaksaan menggunakan informasi yang tidak sempurna, mungkin oleh karena informasi yang diperlukan tidak tersedia atau biaya untuk memperolehnya tidak sebanding dengan manfaat. Sebab lain, karena tidak tahu bahwa informasi itu ada.

ORANG sering tidak menyadari betapa tinggi nilai informasi. Bahkan sering terjadi informasi hanya dinilai sebesar proses untuk memperolehnya saja. Rudolph E. Hirch mengukur nilai informasi dari sudut manfaat yang diperoleh. Kalau nilai manfaat sudah dapat diketahui, maka usaha memperoleh informasi layak jika biaya untuk memperolehnya masih lebih kecil dari nilai manfaat. Nathan Rothchild, pada tahun 1815, telah mengetahui bahwa hasil dari perang Waterloo, akan sangat berpengaruh terhadap harga obligasi pemerintah Inggris. Oleh karena itu, ia menyelenggarakan kurir khusus (pada waktu itu masih pakai kuda) yang menghubungkan daerah pertempuran dengan London. Ialah yang pertama kali tahu di London bahwa Perancis kalah dalam perang Waterloo. Informasi ini ia manfaatkan untuk mengadakan deal dengan pemerintah Inggris. Nathan Rothschild memang memperoleh keuntungan besar dari deal tersebut.

WALAUPUN penting dan tinggi nilainya, itu tidak berarti kita harus memperoleh segala informasi yang ada. Kecenderungan dewasa ini adalah bahwa kita terlalu banyak diberi informasi. Demikian banyaknya sehingga jenuh dan muak. Maka yang penting, di samping tahu harganya, kita juga harus tahu memilih mana informasi yang relevan. Yaitu yang tanpa informasi itu keputusannya bisa lain. (Akuntansi No. 7 – Juli 1989)


KETIDAK PASTIAN

SIAPA mampu mengetahui masa depan? Tak siapapun! Tukang ramal buntut, yang katanya mampu menguak waktu, ternyata hanya sebuah “profesi”. Dan masa depan, sungguh sayang, tetep gelap. Ketidakberdayaan terhadap masa depan membuat manusia merasa kerdil. Tapi orang berusaha sekuat otot menaklukkannya.

Masa depan adalah dimensi waktu, yang terpaksa dihadapi. Cirinya adalah ketidakpastian (uncertainties). Ia adalah kembaran dimensi ruang. Tapi, kalau dewasa ini, orang hampir dapat menjungkirbalikkan dimensi ruang, waktu, dengan ketidakpastiannya, tetap jumawa menguasai dunia. Akibat ulah tehnologi informasi dan komunikasi, jarak terseok-seok minta ampun, sebab tak mampu lagi memisahkan manusia. Sementara itu, siapa dapat memastikan hari esok? Kecuali ucapan Alhamdulillah saat bangun tidur, dan doa menikmatinya menjelang beradu. Kegelapan masa depan membuat orang pasrah pada waktu. Itulah nasib.

Mengapa masa depan dibiarkan gelap? Karena sifat tamak yang melekat pada diri manusia. Macbeth, dalam cerita Shakespeare, suatu ketika diramal dukun sihir, bukan ia, raja Skotland saat itu, yang akan menurunkan penerus kekuasaan. Adalah Banquo, temannya, yang punya bibit raja. Karena ramalan ini, Macbeth mencoba menguak nasib. Banquo dibunuh.

Dunia bisnis adalah sisi lain yang terkena obsesi masa depan. Lalu lintas modal, investasi dan barang adalah hasil rekaan masa depan. Melalui budaya keputusan. Siapa mengetahui masa depan dialah yang menang dalam persaingan. Lihat, betapa orang dapat kaya dalam sekejap karena tahu besok pagi akan terjadi devaluasi.

Ketidakpastian, apa boleh buat, tetap menjadi momok. Orang selalu menghadapinya dengan perasaan senut-senut. Ibarat mengelus-elus bisul yang mau pecah, sambil memejamkan mata. Tapi tak berarti orang berpangku tangan menghadapinya. Maka diciptakanlah alat pembedah kegelapan ketidakpastian. Informasi namanya. Daya magis kata ini luar biasa. Bak menghipnotis dunia. Membuat orang terlena. Dan terbirit-birit menjangkaunya. Merasa kuno kalau ketinggalan. Informasi mengalir seperti air bah. Muncul penjaja-penjaja yang menyandang nama keren : profesi. Orang dengan senang mengudapnya. Informasi itu sendiri telah menjadi bisnis.

Berbagai cara diusahakan agar kualitas informasi memenuhi kebutuhan penguak masa depan tadi. Ia harus punya nilai prediksi, kata para pakar. Cara meditasi untuk menghasilkan informasi dicampakkan. Berbagai model dikembangkan. Discounted cash flow menjadi santapan sehari-hari. Statistik, dengan teori probabilitasnya, masuk dalam arena. Dan peralatan canggih, yang disebut komputer, diperkosa untuk melayani. Bagian di mana orang merasa keok, ditendang dengan kata asumsi. Model-model itu kemudian diterapkan dalam bentuk feasibility study, proyeksi, rencana, dan lain-lain. Penjaja informasi bermunculan di kakilima. Mulai dari dukun, tukang ramal buntut, konsultan dan ….akuntan. Tapi, nanti dulu….apakah dengan demikian akuntan sama dengan tukang ramal buntut? Entahlah. (Akuntansi No. 22 – Maret 1986)


PROSPEK

APA arti sebuah prospek? Gambaran masa depan. Atau harapan. Dalam dunia bisnis, kata ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan mereka. Dialah sekarang penentu, misalnya, dalam keputusan tentang investasi. Maka tak jarang ahli ekonomi yang sekarang berani mendebat teorinya Keynes, bahwa investasi ditentukan oleh tingkat bunga.

Tapi, kalau demikian, bukankah unsur penentu keputusan itu menjadi terlalu subyektif? Lantas, bagaimana para ahli ekonomi dapat menganalisis perilaku masyarakat dengan mendasarkan pada suatu variabel kebijakan? Akan ambrukkah teori dengan demikian?

Ah, Kawan, jangan terlampau pesimis! Teori tak akan ambruk. Kalau teori lama telah usang, pasti muncul yang baru. Korelasi antara perilaku masyarakat dengan suatu keadaan dapat diciptakan. Justru usangnya teori merupakan salah satu pemantik lahirnya doktor-doktor baru. Yang tentu saja, sangat diperlukan. Kalau tingkat bunga tak berkorelasi lagi dengan keputusan investasi, misalnya, bukankah dapat diusahakan untuk membuktikan adanya korelasi harapan dan invetasi?

DAN gambaran masa depan atau harapan, ternyata bukan barang yang gelap benar. Majunya tehnologi komunikasi dan berkembangnya informasi, telah berhasil menguak sebagian tabir sisi gelap itu. Pedagang pasar pagi, yang tak pernah duduk di bangku fakultas ekonomi-pun, dengan lihai akan dapat mengambil kesimpulan tentang angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara, neraca pembayaran dan pendapatan nasional. Anjloknya harga minyak di pasar internasional, dengan cepat mereka refleksikan pada sumber-sember informasi itu. Dan tabirpun akan tersibak, sedikit, tentang gambaran masa depan perekonomian.

DAMPAK hipotesa adanya korelasi antara harapan dan keputusan ekonomis itupun segera terlihat. Menjelang permulaan tahun baru, saat Pemerintah akan mengumumkan anggarannya, masyarakat akan ramai membicarakan tentang prospek perekonomian tahun yang akan datang. Berbagai seminar diadakan untuk membahas masalah itu. Kalangan bisnis, dengan harap-harap cemas menadahkan tangan, mengharapkan cipratan informasi tentang masa depan itu. Bahkan tak segan merogoh kocek. Para futurologist sibuk meloncat dari satu seminar ke seminar yang lain, menebarkan otaknya. Dan faktor harapan, sekarang dapat dijadikan variabel kebijakan. Siapa yang akan menang? Mereka yang mengetahui informasi. Tapi lebih lagi, yang menang adalah mereka yang menguasai masa depan. (Akuntansi No. 29 – Desember 1986)


WALLSTREET

Bud Fox boleh dibilang ada di persimpangan jalan. Keinginannya untuk dianggap sebagai “orang” membawanya bertemu dengan Gordon Gekko. Yang terakhir ini betul-betul seorang binatang ekonomi. Yang dengan tangan dingin memusnahkan lawan-lawannya. Tak peduli siapa orangnya. Juga kalau lawan itu ayah Fox, sekutu usahanya. Dan Fox, pada akhirnya menyadari, bahwa ia bukan Gordon Gekko. Ketika harus menghadapi ayahnya, Fox berbalik, memukul Gekko. Perdagangan saham di bursa New York sempat dibuat kacau oleh Fox. Untuk menyelamatkan Blue Star, perusahaan di mana ayahnya bekerja, Bud Fox terpaksa melanggar aturan perdagangan saham. Ia memang harus membayar untuk itu. Ketika tangannya diborgol keluar dari kantornya, sebuah perusahaan pialang saham.

Kisah Wallstreet diuraikan dengan apik dala film berjudul sama. Fox, seperti halnya Gekko yang bermula dari kepapaan. Tapi ia, bercita-cita untuk keluar dari lembah nista itu. Sayangnya, dilakukan melalui jalan pintas. Terjal memang, seperti umumnya jalan pintas. Fox, dalam cerita itu, bahkan harus melanggar etika profesi yang ia geluti sebagai seorang analis saham. Untuk menjadi “orang” ternyata memang tak gampang. Menjadi “orang” menurut ukuran Fox dan Gekko, adalah tinggal di Manhattan, dalam rumah yang penuh dengan lukisan terkenal. Menjadi “orang” berarti memakai jas buatan penjahit tertentu dan makan caviar di restoran terkenal. Pendeknya, menjadi “orang” dalam ukuran itu sesuatu yang penuh keglamoran.

Dunia usaha memang bukan tempat orang-orang cengeng yang mendendangkan humanisme. Dunia usaha adalah survival for the fittest. Mereka yang bergerak dalam dunia usaha adalah manusia-manusia gemblengan yang tak gentar menanggung risiko. Yang hidupnya dipenuhi dengan suasana stress. Ambisi adalah santapan rohani sehari-hari. Motivasi yang menggerakkan mereka adalah kemajuan. Adalah layak bila mereka memperoleh imbalan yang jauh lebih besar dari mereka yang hanya mengandalkan pada penjualan tenaga kerja.

Sengitnya pertarungan dalam persaingan sering membuat orang lupa diri. Yang terjadi kemudian adalah berperang tanpa gelar. Hanya main okol-okolan saja. Dan main kekuatan. Seperti Fox, yang untuk memperoleh inside information perusahaan yang akan dilalap, tak ragu mencurinya. Dengan mengorbankan temannya. Ini, yang dalam film di atas, disebut strategi jalan pintas. Strategi ini memang manjur untuk meraih puncak dalam jangka yang lebih pendek. Prayarat yang harus dipunyai untuk menjalankan strategi ini, hanyalah ketidak-acuhan terhadap masyarakat dan lingkungan.

Tapi, menjadi pertanyaan memang apakah mereka harus menjadi orang-orang aneh yang tercerabut dari akarnya? Haruskah mereka tebal muka terhadap lingkungan. Fox ternyata membuktikan tidak demikian. (Akuntansi No. 7 – Juli 1989)


ONGKO

Pernahkah untuk memperoleh mimpi, seseorang harus mengeluarkan uang? Tak perlu! Berbaringlah telentang, pejamkan mata pelan-pelan, dan mimpi pun akan datang. Tak peduli di mana tidur dilakukan. Di sawah atau di hotel. Untuk sebuah mimpi indah, cukup tambahkan tepukan tangan tiga kali di bantal (kalau pakai) dan balikkan. Kontak mimpi pun akan terjadi. Tapi sayang, mimpi indah tak selalu dapat diharapkan. Sebab, mimpi, kata Freud, adalah perwujudan dari keinginan alam bawah sadar. Orang tak pernah dapat mengendalikannya.

Maka, jika ada orang dapat menjual mimpi, dialah seorang usahawan tulen. Layak diacungi jempol. Di kala ekonomi sulit, jual beli mimpi, nampaknya, jadi proyek yang feasible. Pembeli berdesakan menggapai harapan. Tengadah. Kosong. Bak menunggu Godot. Investasi untuk bisnis ini, tak banyak menguras kocek. Cukup selembar akte notaris. Yang penting adalah advertensi adanya peluang investasi, mengeluarkan “surat berharga” dan menyediakan “bursa”. Mimpi telah menjadi komoditi investasi. Menjanjikan harapan besar, tapi penuh ketidakpastian.

Usaha ini pun tak jauh dari pendekatan ekonomis. Dunia usaha mengenal hukum. Yang dikenal : risk-return trade off. Jika risiko suatu usaha tinggi, maka imbalan yang diperlukan (untuk dapat menarik investasi) haruslah besar. Hukum ini, barangkali, dapat di balik. Jika imbalan yang dijanjikan besar, maka risiko usaha yang bersangkutan pastilah tinggi. Artinya kemungkinan harapan menjadi kenyataan tentulah sangat kecil. Hukum ini, sebetulnya cukup sederhana. Hanya ditarik dari logika akal sehat. Dan asumsi. Bahwa orang enggan menanggung risiko. Dari sudut risiko, investasi pada mimpi hampir sama dengan eksplorasi minyak.

Tapi mengapa orang suka membeli mimpi? Ada tiga kemungkinan. Mungkin karena ia seorang penjudi ulung. Penjudi gemar menaggung risiko (risk lover). Atau karena orang itu sedang tak waras. Rasio tak jalan, sehingga perhitungan logika yang sederhana pun tak dapat ditelan. Sebab lain adalah keputusasaan. Ketakberdayaan membuat orang hanya bisa lari pada mimpi. Sebab usaha, apapun dan bagaimanapun, diyakini tak bakal mengubah nasib. Pengamatan menunjukkan, dari golongan ini, kebanyakan, pembeli mimpi berdatangan. Dan bila untuk investasi diperlukan bagian besar pendapatan, keadaan akan tambah runyam. Trade off, hidup mati pun bisa terjadi.

Keputusan tak rasional mengakibatkan hukum-hukum ekonomi sulit memprediksi. Sebab, teori-teori yang dikembangkan selalu disertai asumsi. Bahwa pelaku-pelaku ekonomi bertindak rasional. Maka jika kenyataan berlaku sebaliknya, kocar-kacirlah strategi yang diatur. Maka penjual mimpi, sebenarnya berdosa dalam dua hal. Mendidik masyarakat berpikiran tak rasional dan mengacaukan strategi global.

TAPI, yang barangkali juga perlu dipikirkan. Adalah menguak tak keberdayaan. Dan menyediakan sarana investasi. Yag betul-betul disertai usaha. Mimpi adalah investasi tanpa usaha. Etos keringat dan imbalan layak ditumbuhkan. Budaya kompetisi perlu digali. Berusaha di bidang mimpi bak bermain-main di atas ketakberdayaan. Sungguh mengerikan. Ah … Ongko! (Akuntansi No. 6 – Juni 1989)


SUN TZU

Dengan mengenali musuh dan diri sendiri kita dapat bertarung dalam seratus pertempuran tanpa bahaya kekalahan (Sun Tzu)

SUN TZU adalah begawan militer. Bukunya “Sun Tsu: Seni Berperang” menjadi acuan banyak negara di dunia. Orang Jepang menganggap buku itu sebagi “kitab suci” ilmu perang. Di Barat bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan di Paris 1782. Konon Napoleon Bonaparte mempelajari buku ini. Terjemahan dalam bahasa Inggris dilakukan Calob, 1900. Sejak itu Rusia, Italia, Jerman, Cekoslowakia dan negara-negara lain turut menterjemahkan ke dalam bahasa negaranya masing-masing. Jenderal Montgomery dari Inggris menghimbau akademi militer berbagai negara agar menjadikan Sun Tsu: Seni Berperang sebagai pokok bahasan wajib semua perwira militer.

SUN TZU adalah jenderal Raja He Lu dari negeri Wu. Dia tak hanya pandai mengarang buku. Pada saat jadi panglima perang, negeri Chu ditaklukannya. Di Utara negeri Qin dan Jin dilumpuhkan. Hidup semasa Khong Hu Cu. Bukunya, terdiri atas 13 episode. Adalah kumpulan pengalaman perang zaman dahulu. Tumpukan pengalaman itu mengkristal menjadi hukum, doktrin serta azas-azas perang. Akhirnya membentuk teori yang sistematis. Buku ini, pada dasarnya, tentang strategi militer. Namun, kesesuaian penerapannya dalam dunia bisnis makin diakui. Bisnis dengan militer memang tak jauh berbeda. Keduanya berbicara tentang musuh, perang dan menang. Pesaing adalah musuh. Persaingan adalah perang. Pangsa pasar jadi rebutan. Untuk mana harus menang.

SUN TZU mengatakan: “Untuk dapat memperkirakan akhir suatu peperangan, kita harus menganalisis kondisi kedua belah pihak, lalu membandingkan kekuatan dan kelemahan masing-masing, diukur berdasarkan lima faktor berikut: moral, langit; bumi; panglima dan; sistem hukum”. Moral mendatangkan dukungan rakyat. Untuk ikut berperang tanpa rasa takut. Langit dan bumi adalah keadaan lingkungan. Langit menyangkut keadaan iklim, siang dan malam, panas dan dingin serta segala perubahan musim dan akibatnya. Bumi diartikan sebagai kondisi geografis seperti jarak dan topografi. Panglima adalah pemimpin yang bijaksana, bisa dipercaya, penuh kasih, tegas dan berdisiplin tinggi. Sistem hukum bersangkutan dengan organisasi, termasuk jenjang dan logistik. Sun Tzu menekankan pentingnya perencanaan. Dalam tahap ini dilakukan analisis terhadap lawan dibandingkan dengan diri sendiri. Atas dasar kelima faktor tersebut di atas.

DALAM bisnis kita mengenal perencanaan strategis. Dijabarkan dalam corporate plan. Analisis SWOT biasa digunakan. Dalam analisis ini dikaji strenghts dan weaknesses dari diri kita sendiri. Kemudian, lingkungan ditelaah dari sudut opportunity dan threats. Lingkungan dapat berupa regulasi, pasar, pesaing atau alam. Semua itu dikaitkan dengan visi dan misi perusahaan. Rencana strategis digelar. Dikemas dalam semangat corporate culture. Dilengkapi dengan sumberdaya yang diperlukan. Organisasi serta sistem dan prosedur. Sumberdaya manusia. Modal dan teknologi. Dalam perencanaan strategi kita diajak mengenali diri sendiri. Menonjolkan kekuatan. Menutup kelemahan. Lingkunganpun dibedah. Memanfaatkan peluang. Menangkis ancaman.

SUN TZU berbicara tentang modal, medan, pimpinan dan organisasi. Analis barat berbicara tentang corporate culture, lingkungan, leadership, organisasi dan manajemen serta sumberdaya. Jika keduanya digabung alangkah dahsyatnya. (Mei, 1996)


CHUNG

NASIB orang siapa tahu. Demikianlah yang terjadi pada Chung Ju Yung. Pendiri sekaligus pemilik group perusahaan Hyundai. Chaebol ini, dengan kurang lebih 40 Perusahaan yang dikendalikannya, termasuk pilar utama ekonomi Korea. Dan Chaebol, kita semua tahu, merupakan penyumbang utama perekonomian negara ginseng tersebut. Pada awal tahun 1990-an, total penjualan 10 terbesar Chaebol merupakan 77,3% Produk Nasional Bruto (GNP) Korea. Harap diingat, pendapatan per kapita Korea pada tahun 1992 adalah US$ 6,761. Anggota keluarga Chaebol memegang 75% jabatan CEO dan pimpinan puncak lainnya. Sementara itu, kepemilikan anggota keluarga tersebut meliputi 46,9% dari modal keseluruhan 61 Chaebol.

CHUNG sendiri berasal dari keluarga petani. Di suatu tempat yang sekarang termasuk Korea Utara. Menghindari kemiskinan, ia lari dari desanya ke Seoul. Pertama kali sebagai tukang antar beras. Ketika Jepang menutup warung berasnya, selama Perang Dunia II, Chung beralih usaha ke bengkel mobil. Bengkel inipun harus ditutup, karena Jepang menggabungkannya dengan pabrik baja yang didirikan untuk kepentingan perang. Chung pulang ke desa dan baru kembali ke Seoul 1946. Mendirikan bengkel lagi yang diberi nama Hyundai Motor Service. Pada tahun 1947, mendirikan Hyundai Construction. Bengkel motornya digabung dengan perusahaan kontraktor yang didirikan ini, tiga tahun kemudian. Pada tahun 1967, didirikan Hyundai Motor Company dan pada tahun 1985 didirikan Hyundai Motor America. Tahun 1974, Chung memformalkan berdirinya Hyundai Heavy Industries. Hyundai Electronics America didirikannya pada tahun 1982. Chung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Chairman Hyundai Group pada tahun 1987.

SUKSES Chung, kalau diamati, berasal dari gabungan antara faktor-faktor pribadi, dukungan penguasa, kesempatan dan tentu saja hoki. Chung jelas seorang pekerja keras. Ia hanya memerlukan waktu tiga tahun untuk dipromosikan dari seorang tukang antar menjadi manajer toko. Suatu jabatan yang hanya satu tingkat di bawah posisi yang diduduki oleh anak pemilik toko. Chung juga dikenal sebagai orang suka detil, down to earth. Tidak jarang ia bekerja sendiri di bengkelnya. Digging his own ditches. Sukses Chung juga disebabkan oleh fleksibilitasnya. Ia dapat bekerja pada sistem manapun yang berlaku. Baginya bisnis adalah bisnis. Pada saat pendudukan Jepang misalnya, dari pada melawan kekuasaan penjajah, ia malah berusaha untuk mengekploitirnya dengan mendirikan bengkel untuk memperbaiki mobil-mobil tentara Jepang. Ia adalah orang yang cepat dapat mengantisipasikan peluang. Ia adalah seorang street smart.

DUKUNGAN penguasa memberikan andil cukup besar terhadap kesuksesan Chung. Walaupun, sekali lagi, hal ini menunjukkan kelihaian Chung dalam melakukan lobi-lobi dengan relasi tingkat tinggi. Chung terkenal dekat dengan Presiden Park Chung Hee. Chung selalu bertindak sebagai pioneer yang bekerja sama dengan struktur kekuasaan yang menyambut, menyetujui dan membiayai usahanya. Walaupun hubungannya dengan Presiden Roh Tae Woo tidak sedekat dengan Park Chung Hee, namun ia masih cukup dekat dengan pusat kekuasaan. Ia merupakan pengusaha Korea pertama yang mempreroleh izin pemerintah untuk pergi ke Korea Utara guna melakukan hubungan ekonomi. Chung juga merupakan Chaebol pertama dari Korea Selatan yang diizinkan pergi ke Moskow untuk membicarakan pengembangan Siberia.

CHUNG juga lihai dalam memanfaatkan kesempatan. Dan kesempatan itu yang berasal dari perkembangan lingkungan, nampaknya datang saat Chung memerlukan. Pembangunan ekonomi Korea yang dimulai saat Park Chung Hee mulai berkuasa, 1967, merupakan kesempatan yang segera diraup Chung. Kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan pengusaha guna mencapai pertumbahan ekonomi disambut Chung dengan gegap gempita. Di samping itu, tercatat Hyundai mengalami perkembangan pesat dalam usahanya dengan Amerika Serikat selama perang Vietnam. Periode booming minyak di Timur Tengah, sekali lagi menunjukkan kemampuan Chung bertindak pada tempat, waktu dan harga yang tepat.

TAPI tak selalu Chung mengalami sukses. Hyundai Electronic America harus tutup 1985. Karena kesalahan design. Demikian juga dengan Hyundai Motor America. Tahun 1991, perusahaan ini mengalami kerugian lebih dari US$ 100 juta. Kehidupan pribadinya juga tak lepas dari goncangan. Justru karena kedekatannya dengan kekuasaan. Roh Tae Woo menuntutnya karena penggelapan pajak sebesar US$ 181 juta. Chung menjawab dengan mencalonkan sebagai presiden pada pemilihan berikut. Dan dia kalah. Bahkan, November 1993, Chung dikenakan suspended sentences selama tiga tahun. Layarpun tertutup buat Chung.

TRAGEDIKAH kisah Chung? Donal Kirk dalam bukunya “Korean Dinasty: Hyundai and Chung Ju Yung” tidak menjawab pertanyaan ini. (April, 1996).


MEIJI

JEPANG, bagi Amerika Serikat, tentulah anak murtad layaknya. Betapa tidak? Tanpa Marshal Plan, negeri ini pastilah sudah ambles ke bumi. Jepang memang kucar kacir sejak kalah perang, 1945. Namun, belum setengah abad negara itu membangun, dia sudah berani gantian memporakporandakan ekonomi emak semangnya. Pertumbuhannya begitu pesat membuat gentar tidak saja Amerika Serikat, tapi juga negara-negara barat pemenang perang. Pada saat pendudukan berakhir, 1952, Pendapatan Nasional Bruto (GNP) Jepang kurang dari sepertiga GNP Perancis atawa Inggris. Tapi pada tahun 1970-an, produk domestic bruto Jepang telah menyamai GDP Perancis dan Inggris digabung, Amerika Serikat selalu keteteran karena defisit neraca pembayarannya dengan Jepang.

Dan tudinganpun meluncur ke arah Jepang. Berupa praktek-praktek perdagangan yang tidak sehat. Proteksi berlebihan terhadap pasar dalam negeri. Tanpa mau tahu kesalahan sendiri. Bahwa praktek-praktek tidak sehat juga dilaksanakannya. Lee Iacocca, CEO Chrysler, misalnya selalu mengeluh tentang praktek yang tak sehat yang dilakukan Jepang. Toh, sejak tahun 1970-an Chrysler terus mengimpor jutaan mobil Jepang untuk dijual dengan merk dagangnya di Amerika Serikat. Sering dilakukan dalam suasana kompetisi dengan mobil-mobil yang dibuatnya di dalam negeri. Dan pada produk-produk pertanian? Ternyata, daging dan kentang Amerika Serikat adalah termasuk produk-produk yang sangat dikendalikan dan memperoleh subsidi tinggi di dunia. Lantas siapa sebenarnya yang salah? Dan yang benar?

PHILIP Oppenheim, dalam bukunya “Japan Without Blinders” menyatakan bahwa sukses ekonomi Jepang bukanlah hasil dari praktek perdagangan yang tidak sehat. Kesuksesan Jepang adalah hasil kombinasi yang kompleks dari faktor-faktor historis, lingkungan, pemerintah dan pendidikan. Secara historis, kesuksesan Jepang tak dapat hanya dilihat dalam kurun waktu setelah Perang Dunia II. Kemenangan industrial Jepang harus ditelusuri balik sejak 1860, saat restorasi Meiji. Dalam paruh terakhir abad 19, tidak ada satu negarapun, selain Jepang, yang dapat menjawab (dengan cepat dan sukses) tantangan superioritas pihak barat dari segi ekonomi dan teknologi militer. Dalam kurun waktu 1900-1939, ekonomi Jepang tumbuh paling cepat dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya. Tetapi pada tahun 1945, posisi Jepang balik seperti apa yang dicapai pada tahun 1868. Sejarah, dengan demikian, membuktikan bahwa kisah sukses Jepang tak hanya terjadi setelah perang. Lebih lagi, Marshal Plan bukan satu-satunya variabel.

SERING orang mengatakan bahwa sukses Jepang adalah karena semangat bushido yang berkembang dalam masyarakat samurai. Tidak seluruhnya benar! Mereka sukses karena didikan lingkungan. Karena pasar keras yang harus mereka hadapi. Pasar Jepang, tidak hanya sulit ditembus oleh asing, tapi juga oleh orang Jepang sendiri. Pasar yang bercirikan persaingan, kualitas dan proteksi kepada pedagang kecil. Sistem distribusi Jepang yang kompleks dan multi layer tidak direncanakan sebagai mekanisme proteksi. Sistem ini berlaku untuk semua pendatang baru, asing atawa domestik. Maka pengusaha Jepang harus mencipatakan strategi jitu untuk menghadapi pasar domestiknya yang tidak ramah itu. Fokuskan pada pangsa pasar. Jaga keseimbangan antara investasi dan pertumbuhan pasar. Gunakan harga sebagai senjata utama serta; temukan produk baru selalu. Ketika Jepang sibuk berupaya agar perusahaannya tumbuh secara organis. Amerika lebih senang mengotak-atik labanya melalui merger, akuisisi dan rekayasa keuangan lainnya.

DI BIDANG pendidikan, kunci sukses Jepang terletak pada adanya hubungan yang kuat antara sekolah dan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan Jepang merupakan bagian integral dari sistem ekonomi. Di Jepang pengusaha dan industri ikut terlibat dan sangat mendukung terhadap pendidikan. Tidak seperti di Amerika Serikat, Menteri Pendidikan Jepang menentukan secara rinci kurikulum inti yang harus diajarkan di sekolah. Kemudian menciptakan sistem ujian yang hasilnya dapat menghasilkan insentif dalam pekerjaan. Intinya sekolah dapat menghasilkan tenaga-tenaga andal untuk industri. Keandalan tenaga-tenaga terdidik ini masih ditambah lagi dengan sistem nilai yang mereka punyai. Keinginan untuk mempunyai ekonomi yang kuat mendorong mereka untuk menilai tinggi aspek-aspek usaha, perdagangan dan laba. Di samping itu, konsep hidup dalam keharmonisan, menciptakan kohesivitas dalam mencapai tujuan kelompok.

BAGAIMANA peran Pemerintah? Sering timbul kritik bahwa hubungan yang dekat antara pemerintah dengan industri membuat Jepang menjadi masyarakat yang didominasi oleh produsen. Kepentingan negara bergabung dengan pengusaha untuk membentuk kartel dengan mengorbankan konsumen serta standar kehidupannya. Mereka menjawabnya dengan prioritas pada pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini pemerintah telah membantu industri untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Jepang. Salahkah cara itu? Jika pemerintah dan pengusaha bergabung untuk mensejahterakan rakyat?

MAHATIR Mohammad, Perdana Menteri Malaysia, suatu ketika berkata. Pergilah ke Timur! Belajarlah dari Jepang! Kalimat in terus terngiang. Terus terngiang ! (Mei, 1996)


REVOLUSI NILAI

BETAPA susahnya menjual dewasa ini ? Tak ada lagi pembeli loyal. Mereka makin rewel. Menolak semua hal yang tanpa nilai tambah. Yang dicantolkan pada harga. Cerewetnya minta ampun. Segala sesuatu ditanyakan. Tentang harga, syarat jual beli, jaminan dan tetek bengek yang lain. Konsumen baru itu merasa berhak ikut menentukan kualifikasi dan jenis produk. Dan harga. Produk, katanya harus sesuai dengan keinginan spesifiknya. Produk standar menurunkan gengsi.

Tapi penjualpun tak kurang akal. Mereka bermimikri menjadi pembentuk nilai (value innovator). Nilai dibentuk dan dijejalkan pada kesadaran dan harapan konsumen. Kepada langganan disodorkan berbagai pilihan. Tentang kualitas dan pelayanan. Dalam kisi-kisi harga. Para pembentuk nilai tahu betul. Bahwa nilai adalah kombinasi dari kualitas, pelayanan dan harga. Kuncinya adalah pandangan konsumen. Atas dasar kewajaran dan perlakuan adil. Proposisi ini ditenteng kemana-mana. Dalam setiap kesempatan. Pada saat presentasi, seminar atawa pariwara.

Dua pertanyaan penting selalu menghantui pembentuk nilai. Bagaimana menghasilkan nilail lebih bagi langganan. Dan, bagaimana menaikkan profitabilitasnya dalam proses. Ada unsur outward looking pada pertanyaan pertama. Konsumen adalah faktor penentu. Yang harus dapat diraba keinginan dan harapannya. Dalam revolusi nilai apa yang disodorkan haruslah melebihi (paling tidak memenuhi) harapan konsumen. Pertanyaan kedua lebih bersifat inward looking. Pada efisiensi proses. Ini lebih mudah dikendalikan.

MAKA, seorang penjual dapat memilih satu dari empat strategi berikut ini. Pertama, berikan sedikit untuk sedikit yang diperoleh (less for less). Ini adalah strategi untuk produk yang langganannya sangat sensitif terhadap harga. Masuk ke pasar yang sudah ada. Serang dengan harga lebih rendah. Kuncinya, pilih produk yang untungnya besar dan abaikan pelayanan. Sisi ekstrem yang lain dari strategi sedikit untuk sedikit adalah banyak untuk banyak (more for more). Ini berlaku bagi langganan yang menghendaki pelayanan ekstra. Tapi, juga mau membayar ekstra. Bagi mereka, harga tidak menjadi masalah. Kuncinya adalah kualitas, waktu dan pelayanan. Lain lagi dengan strategi sama untuk sedikit (same for less). Dalam kondisi ini, semua atau hampir semua yang ditawarkan pesaing juga diberikan, tapi dengan harga yang lebih rendah. Bagi inovator nilai strategi yang tepat adalah banyak untuk sedikit (more for less). Berilah nilai tambah pada harga yang lebih rendah. Inilah kuncinya.

ADA banyak cara untuk memberi nilai tambah langganan. Membuat kehidupan langganan lebih mudah. Memberi tanggapan yang lebih cepat. Menangani masalah yang dihadapi langganan. Memberikan kekuatan langganan dengan pengetahuan. Mengelola (dengan baik) kompleksitas langganan. Melibatkan langganan dalam menciptakan nilai. Menciptakan hal spesifik bagi langganan. Perhatikan yang disebut di atas. Semuanya berorientasi pada kepuasan konsumen. Dalam revolusi nilai, kata nilai berpihak pada langganan. Kita harus memenangkannya. Untuk menang dalam revolusi nilai, upaya yang harus dilakukan adalah mengusahakan kesetiaan langganan (customer loyalty). Segala sesuatu tentang langganan harus diketahui. Kebutuhan spesifik harus ditemukan dan dipenuhi. Jangan lupa minta tanggapan dari langganan tentang kelemahan kita. Program-program aksi untuk mendekatkan diri dengan langganan perlu diciptakan. Kesetiaan langganan tergantung pada kesediaan kita untuk bekerja ekstra. Kesetiaan langganan tergantung pada apa yang kita lakukan.

TUGAS seorang eksekutif, manajer atau pemilik perusahaan, dengan demikian adalah memenangkan revolusi nilai. Demikian kata Robert B. Tucker dalam bukunya: “Win - the Value Revolution”. Ada tiga kekuatan yang dapat digunakan sebagai senjata. Pertama, pemikiran kembali (Rethinking) proposisi nilai, seperti disebutkan di atas, haruslah menjadi acuan. Produk serta metode pelayanan, pemasaran dan penjualan perlu ditetapkan kembali (Repositioning). Organisasi perusahaan harus ditata kembali (Reengineering). Inilah cara menghadapi kompetisi dalam lingkungan yang cepat berubah. (Maret, 1996)


HIDUP TANPA JARING

HIDUP makin tidak pasti saja adanya. Perubahan datang semakin cepat. Dan sering. Siapapun tak dapat mengelola perubahan, terdepaklah ke pinggir. Padahal, sifat orang adalah takut pada konflik dan perubahan. Hidup layaknya seorang akrobat. Yang harus berjalan meniti tali. Tanpa jaring pengaman di bawahnya. Lingkungan sekarang, betapa kejamnya. Perlindungan sesama rekan, jangan harapkan. Bahkan, antar rekan, siap saling terkam. Demi hidup. Persaingan makin menajam. Sementara konsumen semakin kritis dan demanding. Lingkungan semacam ini oleh Morris R. Shechtman dalam bukunya: “Working Without A Net: How To Survive & Thrive in Today’s High Risk Business World” disebut dengan budaya risiko tinggi (high risk culture). Situasi sekarang adalah kehidupan tanpa jaring.

BIANG makin tingginya ketidakpastian, ternyata adalah informasi. Binatang ini, membuat kita tak mungkin mengabaikan perubahan. Mereka datang, dengan kuda teknologi, bak air bah. Tak terbendung! Menyikat laba; memperketat persaingan. Dalam suatu siklus: informasi -- pilihan -- keputusan -- perubahan. (Tambahlah satu elemen lagi setelah perubahan: ketidakpastian). Informasi menimbulkan pilihan alternatif. Yang harus diputuskan. Biasanya, keputusan menghasilkan perubahan. Jika terjadi perubahan, informasi baru akan muncul, demikian seterusnya.

ADA resep untuk menghadapi lingkungan dengan budaya risiko tinggi. Yaitu dengan menerapkan sistem manajemen berbasis nilai (value based management system). Dalam sistem ini, pergeseran pola pikir perlu dilakukan. Ada 4 paradigma baru yang perlu diselami. Dan diimplementasikan. Pertama, Caring. Ini berbeda dengan Care taking. Dalam caring, upaya dilakukan dengan memberikan tantangan untuk maju. Agar menjadi yang terbaik sesuai kemampuannya. Memberi tahu apa yang seharusnya didengar. Bukan apa yang ingin didengar. Kedua, hirarki. Dengan hirarki, tercipta kontrol dan akuntabilitas. Orang harus mendefinisikan kembali apa yang disebut pekerjaan yang dapat diterima. Ukuran kinerja harus diubah dari cukup ke istimewa. Konsep hirarki adalah pemecahan masalah melalui jenjang orang-orang yang berorientasi maju. Bukan menguburnya, karena tidak ingin adanya redundansi atawa karena tidak tahu.

PARADIGMA ketiga adalah paduan kepentingan perusahaan dan pribadi. Tercipta kongruensi antara tujuan perusahaan dan tujuan pribadi. Sebelumnya selalu ditekankan keseimbangan antara waktu untuk di rumah dan waktu untuk bekerja. Dalam kehidupan tanpa jaring konsep ini tidak berlaku lagi. Yang benar adalah bagaimana kegiatan pribadi mempengaruhhi kegiatan profesionalnya. Otonomi merupakan paradigma keempat. Setiap orang diberi wewenang mengambil keputusan sendiri. Tapi, dalam konteks akuntabilitas terhadap yang lain. Mereka harus mengubah sikapnya terhadap perubahan. Bahwa kemampuan untuk berubah bukan fungsi dari kapasitas. Tapi lebih pada pilihan untuk berubah. Masing-masing orang akan saling bergantung (interpendent). Hubunganpersekutuan manjadi amat penting. Untuk mengikat satu sama lain perlu diciptakan nilai organisasi. Yang harus sesuai dengan nilai pribadinya. Paradigma keenam adalah asumsi tentang sumber daya yang melimpah. Bukan seperti yang sekarang dianut bahwa sumber daya adalah terbatas (scarcity).

DALAM sistem manajemen berbasis nilai, konsep etika perlu didefinisikan kembali. Dimulai dengan informasi. Yang menciptakan perubahan cepat dan saling ketergantungan. Pada gilirannya kedua hal ini menghasilkan budaya risiko tinggi. Dalam budaya demikian, untuk perlindungan, diperlukan sistem nilai yang mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan. Ada pertentangan di dalamnya yang merupakan proses belajar untuk saling mengerti. Segala sesuatu yang mendukung proses itu, adalah etis.

ADA dua keahlian yang diperlukan agar dapat hidup dalam budaya risiko tinggi. Keahlian mengambil keputusan dan pengembangan relasi. Pengambilan keputusan berkaitan dengan kemampuan memprioritaskan. Untuk itu perlu kriteria yang disebut nilai. Harus ada nilai inti (core values) guna prioritasi. Kemampuan pengembangan relasi tidak berarti tercapainya konsensus, kebersamaan (commonalities) atawa penghindaran konflik. Bukan lagi budaya menyenangkan orang lain. Pengembangan relasi haruslah berfokus pada kosep maju bersama, jujur dan komunikatif.

HIDUP tanpa jaring ! Siapkah kita ? (April, 1996)


CRASH 87

KEGEGERAN itu bermula dari sebuah gedung, agak kusam, di bilangan Wall Street, New York. Orang-orang berebutan mengacungkan tangan. “Jual! Jual!” teriaknya lantang. Dan harga saham di bursa New York itu, terus melorot turun. Terjadi apa yang sering disebut bear market. kebalikan dari bull market, jika lebih banyak orang yang mau beli. Anehnya, kepanikan di pasar saham tadi, menjalar ke London, Tokyo, Hong Kong dan bursa-bursa lain di dunia. Bahkan bursa saham di Hong Kong sempat ditutup. Pialang-pialang saham termehek-mehek dibelit utang. Para security analyst sakit kepala mendadak. Dunia menyebut kejadian di hari Senin, 19 Oktober 1987 itu, Black Monday atau kadang-kadang Crash 87.

ORANG PUN, seperti biasanya, ramai membicarakannya. Gerangan apa yang menyebabkan terjadinya crash tersebut? Defisit kembar Amerika Serikat sering dituduh sebagai biang kerok. Kredibilitas negeri Paman Sam itu mulai diragukan. Ekonominya dapat tegak hanya karena ditopang oleh kebaikan tujuh negara sahabatnya, terutama Jepang dan Jerman. Para penanam modal (yang kebanyakan dari luar AS) mulai ragu. Sampai seberapa lama sohib-sohib negara Cowboy itu mau berkorban? Dan keraguan ini, meledak dalam peri laku, ramai-ramai melepas saham yang dimilikinya.

TAPI bukankah geringnya ekonomi Pemerintahan Reagan sudah lama dimahfumi? Mengapa baru hari Senin kelabu itu orang seperti kesetanan menjual surat-surat berharganya? Bukankah beberapa waktu sebelumnya Presiden Reagan dan juga Menteri Keuangan James D. Baker, baru saja mengatakan bahwa ekonomi Amerika sedang menanjak naik? Dan kalau defisit neraca pembayaran dan anggaran jadi jalaran, kenapa krisis yang pertama, 29 Desember 1929 (disebut Black Friday) juga terjadi? Pada saat itu neraca pembayaran Amerika sedang surplus dan anggaran negaranya belum mengenal defisit.

BANYAK orang juga menunjuk komputer sebagai kambing hitamnya. Perilaku edan para investor itu adalah karena mereka terlalu mempercayai informasi olahan komputer. Si mesin pinter ini meramu berbagai data, dengan program tertentu, kemudian memberi nasehat kepada para investor untuk mengosongkan portofolionya. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya anjlok tadi, sebetulnya, tidak berpenyakitan apa-apa. Beda dengan kasus Black Friday. Pada waktu itu, justru perusahaannya yang borokan. Dan untuk menyembunyikannya, mereka memberi informasi keuangan yang aspal.

DI BALIK itu semua, Crash 87, sebenarnya, menunjukkan trend yang menarik dalam proses pengambilan keputusan. Yaitu keputusan yang terlampau bernalar dipadu dengan kecenderungan untuk mendewakan kemalasan. Orang berlomba untuk mengkeramatkan informasi dan kemudahan dalam setiap pengambilan keputusan. Sebab, kata orang, informasi dapat menekan ketidakpastian. Tak salah, memang. Yang jadi masalah adalah keengganan untuk meneliti bagaimana informasi tadi dihasilkan dan apa bahan ramuannya. Segalanya diserahkan pada komputer.

DAN kotak ajaib itu kayaknya betul-betul ajaib. Segala tugas diterima. Dan bisa dilaksanakan. Termasuk tugas mengambil keputusan usaha. Dihadapkan pada sikap malas yang menjadi ciri hakiki manusia, menjadi klop-lah semuanya. Proses pengambilan keputusan menjadi sederhana. Tinggal menunggu nasehat yang diberikan si dukun elektronik tadi. Keputusan sekarang menjadi bahan kodian. Hasil dari model yang dikemas dalam program IF … THEN … Tak seorang pun sudi melongok asumsi-asumsi yang dipakai oleh model tadi. Juga variabel-variabel yang dikocok. Layakkah mereka?

Musim rontok di New York tahun ini disimbahi air mata. Jutaan orang bertambah miskin dalam sekejap. Dari satu keputusan jual. Hanya dalam beberapa jam, ratusan milyar dolar uang masyarakat menguap. Dan kita pun bisa membayangkan. Betapa raksasanya kekuatan bursa saham New York Stock Exchange ini. Tapi yang membuat lebih terkesima, sudah demikian mekanistiskah proses pengambilan keputusan dewasa ini? Pertanyaan ini tak sempat terjawab. Kabur ketika kaki mulai menapaki jalan empat dua, New York. (Akuntansi No. 11 – November 1987)


KAMBING

Sewaktu Harry Truman menjadi Presiden Amerika Serikat, di pintu masuk kantornya ia menulis : “TANGGUNG JAWAB BERHENTI DI SINI”. Adakah yang aneh? Tidak! Sebagai Presiden, tentu, dialah penanggung jawab akhir dari segala kebijakan pemerintahan yang diambil seluruh bawahannya. Tapi, ada nuansa tertentu yang tersembul dari situ.

Semboyan itu memang merujuk pada petunjuk tentang siapa yang salah jika terjadi penyimpangan? Dialah yang berada pada puncak organisasi. Sesuai alur tanggungjawab itu sendiri. Dan tentu saja berkaitan dengan wewenang yang dimiliki.

Tapi mana ada yang sukarela mengaku salah? Yang paling sering dilakukan adalah, jika berhubungan dengan dua pihak, menunjukkan kesalahan bukan di kita tapi dia. Ini kalau mungkin. Sebab menonjok “dia” bukan pekerjaan yang mudah. Dia adalah juga partner kita. Dia salah, berarti kita juga salah. Maka, yang paling aman dilakukan menunjukkan bahwa orang ketigalah yang salah. Itulah yang disebut kambing hitam. Menunjuk orang ketiga yang salah pastilah aman buat dua belah pihak. Yang masih harus menjaga hubungan dalam jangka panjang. Apalagi kalau kambing itu agak kabur atawa yang pasti telah salah.

Steven Brown menyebutkan tidak bersedianya menerima tanggungjawab pribadi sebagai kesalahan fatal pertama yang biasa dilakukan oleh manajer. Mereka inilah yang selalu menyalahkan resesi dunia, persaingan yang tajam dan faktor-faktor luar lain sebagai biang kesalahan karena menurunnya bisnis yang dilakukan. Manajer yang demikian, menurut Brown, adalah yang kurang dapat menjadikan tantangan menjadi peluang.

Salahkah orang yang selalu mencari kambing hitam? Ah, tidak! Itu manusiawi saja. Tapi, yang jelas, mereka yang selalu menunjuk kambing hitam bakalan tidak bisa menjadi manajer yang baik. Itu kata Steven Brown lho! Dan jangan lupa, tidak selamanya kambing hitam bisa disalahkan. Suatu ketika si penunjuk kambinglah yang harus out.

Selamat Idul Fitri Syawal 1409 H – Maaf Lahir Bathin. (Akuntansi No. 5 – Mei 1989)


WIN-WIN APPROACH

Betapa makin susahnya pengambilan keputusan jika posisi makin tinggi dalam jenjang organisasi. Sering dikeluhkan, pekerjaan bapak Anu yang menjabat top eksekutif dalam suatu organisasi kok rapat melulu. Apa tidak ada pekerjaan yang lain? Banyak yang sinis jika melihat direktur PT X lebih banyak menghabiskan waktunya di lapangan golf daripada duduk tenang di meja kantor.

Makin tinggi tingkat pengambilan keputusan makin banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Akibatnya makin banyak pihak yang harus terlibat. Padahal, masing-masing pihak itu mempunyai persepsi sendiri tentang masalah yang harus diputuskan. Sering ada conflict of interest dalam proses itu. Memang benar, bahwa conflict of interest itu dapat dikurangi dengan mengacu pada tujuan bersama yang lebih atas. Namun, kecenderungan orang untuk dianggap sukses atawa berprestasi, kadang mengakibatkan timbulnya persepsi yang berbeda atas pelaksanaan tujuan bersama itu. Semua pihak menganggap bahwa persepsinya kongruen dengan tujuan bersama.

Maka makin tinggi tingkat pengambilan keputusan makin banyak diperlukan komunikasi dan negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat. Komunikasi atau negosiasi dapat dilakukan melalui rapat atau sambil bermain golf. Mana yang lebih enak dan berdaya guna serta berhasil guna. Inilah yang disebut dengan the art of negotiating.

Dalam khasanah budaya Jawa, yang sering dikatakan paling alergi terhadap konflik, terdapat konsep yang disebut menang tanpo ngasorake (menang tanpa mengalahkan) dan nglurug tanpo bolo (perang tanpa tentara). Dikaitkan dengan seni negoisasi, inti dari konsepsi itu adalah mengusahakan agar orang lain mau menerima pendapat atau pandangan kita, tanpa mereka merasa kehilangan muka. Ini adalah management conflict a’la Jawa.

Tapi jangan ketawa dulu. Konsep Jawa itu ternyata makin banyak dianut oleh masyarakat barat. Para psikolog barat mulai banyak menerapkannya dengan apa yang disebut win-win approach. Inti dari win-win approach adalah agar dalam suatu negosiasi, kesimpulan dapat diraih dalam kondisi “saya senang, sampeyan senang”. Maka dalam suatu negosiasi, ketika sedang menjual ide, dua pertanyaan perlu dipertimbangkan. Bagaimana ide ini akan mempengaruhi mereka? Apa manfaat yang mereka peroleh dari ide ini? Pola berpikir dengan mendasarkan pada dua pertanyaan itu akan lebih memudahkan kita menang dalam pengambilan keputusan. Betul demikian? (Akuntansi No. 6 – Juni 1989)


OALAH BUMN

Seperti layaknya manusia, mulai saat ini badan usaha milik negara (BUMN) harus dapat diklasifikasikan menjadi BUMN yang sehat dan tidak sehat. BUMN yang berpenyakitan harus disehatkan. Tersedia obat untuk itu. Dan alat diagnosis pun telah dipersiapkan. Tiap tahun BUMN harus menjalani general check-up. Untuk menentukan apakah ia waras betul, kena flu atau menderita kanker. Inilah yang disebut penilaian kinerja (performance evaluation).

Ada tiga peralatan utama yang digunakan sebagai indikator waras tidaknya BUMN. Ketiga indikator tersebut adalah rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Inilah perangkat-perangkat yang digunakan untuk menilai efisiensi dan produktivitas BUMN. Lebih jauh lagi, seperti laiknya angka-angka sistolik, diastolik dan denyut jantung yang digunakan sebagai indikator berpenyakit tidaknya seseorang. Sehat tidaknya BUMN juga dinyatakan dalam angka-angka rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas. Misalnya, agar suatu BUMN dapat dikatakan sehat sekali, maka dalam tiga tahun terakhir BUMN tersebut harus dapat meraih angka rentabilitas di atas 12%, likuiditas di atas 150%, dan solvabilitas 200%. Ukuran-ukuran yang digunakan nampaknya masih menitikberatkan pada informasi keuangan. Walaupun efisiensi dan produktivitas telah didefinisikan sebagai hubungan antara hasil (output) dan masukan (input), namun ukuran-ukuran bukan keuangan belum nampak digunakan.

Dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK.00/1989 tentang peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN, jelas mengangkat peran akuntansi dalam khazanah pelaporan di Indonesia. Laporan keuangan, sebagai produk dari akuntansi menjadi amat penting bagi BUMN. Sebab, dari laporan keuanganlah ukuran-ukuran rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas dihitung. Namun peng-SK-an ukuran-ukuran tersebut di atas bukan tidak mengandung masalah.

Yang jelas, belum genap dua bulan sejak SK tersebut dikeluarkan telah muncul pernyataan-pernyataan yang menggegerkan. Dengan menggunakan kriteria SK tersebut, beberapa BUMN dan perusahaan yang go public dinyatakan tidak sehat. Juga berita bahwa untuk memperoleh rentabilitas sesuai SK, tarif harus dinaikkan.

Dunia akuntansi dewasa ini mulai mengkhawatirkan adanya gejala-gejala pengkeramatan (fixation) angka-angka akuntansi. Artinya, angka-angka itu dianggap suci. Keputusan-keputusan usaha hanya didasarkan atas angka-angka keramat ini, dengan kemasan if…then…tanpa ada judgement. Sebab, barang yang suci tidak boleh di judge. Dampak yang kurang baik terhadap pengkeramatan adalah bahwa angka-angka akuntansi itu nantinya dijadikan sebagai tujuan, bukan alat. Padahal, angka-angka akuntansi sebetulnya hanyalah indikator. Ia adalah bagian dari informasi guna pengambilan keputusan. Disamping itu, digunakannya angka tunggal untuk berbagai jenis usaha dan keadaan akan lebih mendorong ke arah pengkeramatan tersebut. Angka rata-rata industri yang dikeluarkan oleh badan-badan independen di Amerika Serikat seperti Dunn & Braad Sreet selalu mencantumkan angka-angka menurut jenis industri. Bahkan dikelompokkan lagi menurut ukuran (size) perusahaan. Itu pun anggapannya adalah bahwa data yang digunakan dapat dipercaya.

Kini tidak termasuk yang mengkeramatkan angka-angka akuntansi kan, ya? (Akuntansi No. 8 – Agustus 1989)


BAGIAN EMPAT

AKUNTANSI


PROFESIONALISME

Setelah hampir dua tahun tidur siang, Majalah akuntansi mulai saat ini terbit kembali. Terus terang, kemandegan penerbitan ini disebabkan oleh karena ia tidak dikelola secar profesional. Terbitnya majalah hanya didasarkan atas pelaksanaan program. Pembiayaan menggantungkan pada organisasi. Pemasaran kurang diperhatikan. Padahal, pada puncaknya, majalah ini cukup banyak peminatnya. Bahkan sekarangpun masih saja ada surat-surat masuk yang menanyakannya. Untuk itu, mudah-mudahan, mulai penerbitan yang akan datang, majalah ini dapat tampil dengan lebih semarak lagi. Lebih profesional, kata orang.

Tetapi apa sebetulnya makna dari kata profesional atau profesi itu? Orang sering mengaburkan kata profesi ini dengan jabatan atau fungsinya dalam masyarakat. Bahkan WTS pun dianggap sebagai profesi. Kohler’s Dictionary for Accountans menyebutkan adanya empat syarat agar suatu pekerjaan dapat dikatakan sebagai suatu profesi. Pertama, suatu profesi ditandai dengan pendidikan formal pada jenjang universitas atau akademi. Kedua, dalam pelaksanaan pekerjaannya lebih banyak menggunakan tenaga pikiran serta sikap mental dari pada tenaga tangan atau seni. Ketiga, profesi bergerak dalam pelayanan masyarakat atau kepentingan umum. Empat, mempunyai kode etik.

Makna dari profesionalisme adalah kesungguhan dan kepribadian yang tinggi dalam sikap mental karena pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan umum. Walaupun kata “umum” itu sendiri memang masih dapat diperdebatkan, namun pada hakekatnya ia mengacu pada etika moral, yaitu baik atau buruk. Penghargaan masyarakat akan sangat tergantung pada integritas pemegang bendera profesi tadi. Dan dalam hal ini berlaku pepatah : “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”. Namun, perlu disadari bahwa kita hidup dalam sistem dan lingkungan. Dan antara kita, sistem dan lingkungan berinteraksi satu sama lain. Kadang pengaruh sistem dan lingkungan itu begitu kuat. Dan kita terseret dalam arus. Lalu, kalau demikian, salahkah kita? Atau siapa yang salah sebenarnya?

Ketika memandang ke depan, terlihatlah ufuk. Diantaranya ada jarak. Kalau didekati, ufuk itu juga adanya. Dengan jarak yang sama. Adakah mengejar ufuk sia-sia? Masalahnya, adalah sempitnya pendekatan sistem. Yang diperhatikan hanyalah kita dan ufuk; Padahal, masih ada faktor lain, misalnya bumi yang bulat. Orang terpaku pada person person “I” dan “You” dengan penekanan pada “You” untuk kewajiban dan “I” untuk hak.

Semuanya kemudian tergantung pada siapa “I” dan siapa “You”. Andaikata kita mau keluar dari pendekatan yang sempit ini. Andaikata kita mau terbang tinggi sekali sehingga bumi tinggallah suatu titik, maka masalah jarak dengan ufuk akan dapat dipecahkan. Suatu ilusi. Mungkin. (Akuntansi Volume IV No. 17, 1985)


BLINCOE

Kenapakah orang tua punya kelebihan? Karena mereka punya kesalahan yang kita tidak punya. “Time is a kind friend, it make us old” kata seorang penyair. Tetapi jangan terlalu marah pada kesalahan, kata orang pula. Sebab kesalahan mungkin merupakan tahap untuk mencari kebenaran. Dan apabila kita mau menggali sejarah, maka akan terlihat betapa ia, sebetulnya, merupakan tumpukan kronologis dari kekeliruan.

Apakah kita pernah mencoba untuk merenungkan, misalnya, bahwa kesejahteraan material yang sekarang ini dinikmati oleh negara-negara barat adalah disebabkan oleh karena kekeliruan dalam hal revolusi industri? Kenapa kita hanya terpana pada hasil yang sekarang dinikmati tanpa mencoba untuk menelusuri jalan untuk mencapai itu? Ya, mungkin karena kita tidak sempat mendengar atau membaca kisah tentang Robert Blincoe. Ia seorang anak. Sebagaimana banyak anak melarat di zaman itu, ia bekerja bersama 80 kawannya di pabrik. Dan seperti anak-anak sebayanya yang berumur 10 tahun, Blincoe bekerja siang malam dan dicambuki. Cambuk itu bukan cuma buat menghukum yang bersalah, tetapi juga melecut buat kerja keras. Robert Blincoe merupakan salah satu korban dari proses purna revolusi industri, tetapi yang kemudian menghasilkan perbaikan-perbaikan sehingga orang kini dapat menikmati hasilnya dengan kemewahan material, kesantaian dan kenikmatan-kenikmatan yang lain. Siapakah kini yang sedang tidak mencoba untuk meraih hasil revolusi industri itu?

Pengalaman orang tua dalam menjalani waktu, dan mengalami berbagai kekeliruan menyebabkan dia bak air yang tenang dan dalam. Dalam air yang tenang dan dalam itu, kata orang, kita akan dapat melihat diri kita secara lengkap. Dalam perbandingan. Di air itu pengalaman telah membuang sauh, dan jauh di dasar terkandung simpanan kenangan, terutama kenangan tentang kesalahan. Benarkah kata Kong Hu Cu : “Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam”.

Dipandang dari sudut lamanya waktu yang telah dijalani, Ikatan Akuntan Indonesia (didirikan 23 Desember 1957) mungkin dapat disamakan dengan pemuda yang telah meningkat remaja. Banyak keluhan yang dilontarkan kepadanya. Mungkin banyak juga kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat olehnya. Tetapi baiklah kita menggunakan falsafah air diamnya Kong Hu Cu. Pandanglah air yang diam itu. Perhatikan endapan pengalaman dan kesalahan yang ada, kemudian renungkan. Kesempatan untuk melakukan hal ini, akan tersedia pada waktu IAI akan melaksanakan kongres ke IV-nya. Seperti diketahui, Pengurus Pusat IAI telah memutuskan untuk mengadakan kongres ke IV pada sekitar bulan Agustus 1982 nanti.

Pada waktu kongres inilah kesempatan bagi kita terbuka luas untuk merenung. Apa yang kurang? Apa yang harus diperbaiki? Pengalaman dan kesalahan apa yang bisa kita petik dari berjalannya dan bertambah tuanya umur kita?

Renungan yang demikian ini, agar mendapatkan hasil yang baik, memerlukan input sebanyak mungkin dari anggota. Anggotalah yang banyak mengetahui dan merasakan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh IAI sebagai organisasi. Anggotalah nanti dalam kongres itu yang harus menentukan apa yang harus dibuat dan diperbaiki oleh pengurus baru. Sebab itu partisipasi anggota IAI dalam kongres ke IV IAI nanti sangatlah diharapkan. Meluangkan waktu sekitar dua hari untuk menghadiri kongres dalam beberapa tahun rasanya bukan suatu yang merugikan amat. Apalagi kalau dipikirkan bahwa sebenarnya bahwa waktu dua hari itu pun akan bermanfaat bagi anggota itu sendiri. Selamat bertemu di Kongres IV IAI. (Akuntansi Volume III, No.12, 1982)


SUAP

Bermula dari praktek para businessman di Amerika Serikat untuk memenangkan jagonya, Nixon, sewaktu ia melakukan kampanye pemilihan kembali sebagai presiden. Sebagai businessman, tentu saja mereka mampu untuk mengumpulkan uang banyak demi tercapainya tujuan mereka. Nixon memang akhirnya terpilih kembali. Tetapi kemudian muncul peristiwa Watergate. Dan terungkaplah semua usaha-usaha itu. Peristiwa ini kemudian disusul dengan peristiwa-peristiwa lain yang mengungkapkan kebusukan dunia usaha, terutama multinational corporation, dalam memenangkan tendernya. Lockheed misalnya, terbukti telah memberikan uang suap kepada beberapa orang penting di Belanda dan Jepang untuk memenangkan tender penjualan kapal terbangnya.

Pada tahun 1977 konggres AS mengeluarkan undang-undang anti penyuapan, yang disebut dengan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA). Undang-undang ini pada dasarnya memuat larangan bagi orang-orang atau badan-badan di Amerika Serikat untuk melakukan penyuapan kepada orang-orang penting yang dapat mempengaruhi disetujui tidaknya suatu transaksi perdagangan. Di pihak lain undang-undang ini memuat ketentuan agar perusahaan-perusahaan di AS menyelenggarakan pembukuannya (sistem pengendalian internnya) sebaik mungkin.

Undang-undang itu tentu saja membuat para pengusaha AS geger. Mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh negaranya sendiri, dalam hal cari makan. Dengan adanya undang-undang ini kemungkinan untuk memenangkan kompetisi dengan rekan-rekan pengusaha dari negara-negara lain yang tidak mempunyai undang-undang semacam undang-undang anti penyuapan tidak akan menjadi semakin kecil. Walaupun demikian undang-undang tetap undang-undang. Ia harus dijalankan sebelum dicabut. Bagi para akuntan publik di sana, undang-undang ini cukup membuat pusing kepala, sebab perlu dilakukan suatu prosedur pemeriksaan untuk memastikan bahwa penyuapan seperti dalam FCPA tersebut memang tidak terdapat di dalam perusahaan yang diperiksa.

Di indonesia, undang-undang anti suap bermula di lapangan bola. Tetapi hasil akhirnya ternyata mengejutkan. Sebab undang-undang tadi ketika disetujui DPR ternyata tidak membedakan mana yang bola mana yang bukan. Semua orang, tanpa pandang bulu, apabila melakukan tindak penyuapan, baik yang menerima maupun yang memberikan akan terkena undang-undang ini. Hukuman penjara sekitar 3 – 5 tahun, sedangkan kalau memilih denda, sekitar Rp. 15.000.000;.

Sementara itu, di kalangan usaha di Indonesia, istilah-istilah “uang semir”, “uang pelicin” bahkan dengan kasar disebut sebagai “uang suap” atau “uang sogok” kelihatannya sudah bukan merupakan barang yang asing lagi. Selama ini dari segi pemeriksaan akuntan publik biasanya hanya melihat dari segi bukti formilnya saja, artinya sepanjang transaksi tersebut telah disetujui oleh yang berwenang dalam perusahaan, maka ia sah bagi perusahaan sebagai biaya. Dikeluarkannya Undang-Undang Anti Suap mungkin akan menimbulkan masalah juga bagi akuntan publik, dalam hal sejauh mana tanggung jawabnya terhadap ditaatinya undang-undang tersebut oleh perusahaan yang diperiksanya. Walaupun dalam undang-undang anti suap tersebut belum jelas benar apa yang dimaksud dengan tindak penyuapan, namun seyogyanya akuntan publik sudah mulai memikirkan mengenai pengaruhnya terhadap pemeriksaan. Penjelasan perlu diperoleh dari pihak hukum mengenai tanggungjawab akuntan publik mengenai hal ini. (Akuntansi Volume I, No.5, 1980)


STEMPEL

Beberapa tahun terakhir ini, para akuntan publik banyak disibukkan dengan jenis permintaan jasa yang baru, yaitu menandatangani dan mencap laporan keuangan klien yang akan digunakan untuk tender terutama di badan-badan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh adanya keharusan di sementara badan Pemerintah tersebut bahwa untuk dapat mengikuti prakualifikasi proyek yang ditenderkan, perusahaan harus menyerahkan laporan keuangan yang telah ditandatangani dan dicap oleh akuntan publik. Volume pekerjaan ini ternyata besar, oleh karena sejalan dengan makin membengkaknya proyek-proyek pembangunan Pemerintah.

Di kalangan akuntan publik, tersedianya permintaan akan jasa-jasa tersebut ternyata masih diterima dengan sikap mendua. Di satu pihak banyak akuntan publik yang tidak mau menerima penugasan untuk jasa-jasa demikian, di lain pihak ada juga para akuntan publik yang bersedia menerimanya. Bagi yang tidak mau menerima penugasan, mereka berpendapat bahwa penugasan tersebut membuat mereka seolah-olah telah melacurkan profesinya. Nampaknya arus yang kuat bergelombang saat ini adalah pendapat bahwa akuntan publik yang menerima penugasan, “membubuhkan tanda tangan dan stempel” seperti yang disebutkan di atas adalah akuntan publik yang kurang kurang baik serta telah melanggar norma dan kode etik. Dihubungkan dengan usaha-usaha Pemerintah untuk mengawasi dan membina akuntan publik hal tersebut tentu saja akan menambah kalutnya suasana.

Bahwasannya dalam dunia usaha permintaan akan menghasilkan penawaran, kita semua tentu sudah mahfum adanya. Kita juga mahfum bahwa praktek-paktek main tanda tangan dan stempel dari sebagian kantor akuntan banyak disebabkan oleh karena adanya permintaan untuk itu. Dan kalau kita telusuri lebih jauh maka sumber utama dari permintaan tadi adalah dari badan-badan Pemerintah sendiri. Masalahnya, pengertian praktek main tanda tangan dan stempel yang terjadi saat ini mengandung konotasi seolah-olah laporan keuangan tersebut sudah diaudit. Walaupun dalam hal ini perlu dicatat dengan tinta tebal, bahwa badan-badan Pemerintah tersebut mungkin memang tidak bermaksud untuk memperoleh laporan keuangan yang diaudit. Apabila maksud badan-badan Pemerintah tadi adalah untuk memperoleh laporan keuangan yang diaudit keadaanya akan lain.

Apabila demikian halnya, maka tidak pada tempatnya apabila kita hanya mempersoalkan baik/tidaknya suatu kantor akuntan dari kaca mata mau/tidaknya kantor akuntan tadi menerima penugasan tersebut di atas. Adalah lebih baik apabila kita mencoba mencari jalan bagaimana memanfaatkan gelombang permintaan jasa yang menderas ini tanpa sekaligus dianggap menyimpang dari norma dan etik.

Di Amerika Serikat, apabila sebuah kantor akuntan berhubungan dengan perusahaan-perusahaan “non public” dan tugasnya berkaitan dengan laporan keuangan yang tidak diperiksa (unaudited financial statement), maka akuntan publik tersebut tunduk kepada sebuah standard yang dikeluarkan oleh Accounting and Review Services Committee (ARSC) dari AICPA. Standard ini berhubungan dengan penugasan kompilasi (compilation) dan pengkajian (review). Mungkin ada baiknya kalau disebutkan di sini apa yang dimaksud dengan penugasan kompilasi dan review. Kompilasi laporan keuangan adalah menyajikan informasi yang merupakan pernyataan dari management (pemilik) ke dalam bentuk laporan keuangan tanpa harus memberikan kepastian apa-apa terhadap laporan tersebut. Pengkajian laporan keuangan adalah melakukan tanya jawab dan prosedur analitis yang akan memberikan dasar bagi akuntan untuk menyatakan kepastian terbatas bahwa terhadap laporan keuangan yang bersangkutan tidak perlu diadakan modifikasi yang material. Dalam standard tersebut di atas juga disebutkan pedoman mengenal prosedur-prosedur yang perlu dilakukan serta bentuk laporan yang dapat dikeluarkan.

Berpijak pada pengalaman di Amerika Serikat tersebut di atas apakah tidak seyogyanya apabila Ikatan Akuntan Indonesia mengeluarkan pedoman atau standard untuk tugas yang berhubungan dengan laporan keuangan yang tidak diperiksa tetapi nama akuntan publik dikaitkan di dalamnya. Pedoman atau standard itu tentu saja harus yang berbeda dengan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) yang sekarang ada, oleh karena NPA hanya berlaku untuk tugas-tugas audit. Sedangkan apabila badan-badan Pemerintah tadi memang menghendaki audited financial statements maka alangkah baiknya apabila Ikatan Akuntan Indonesia mengadakan pendekatan terhadap mereka, sehingga apabila pihak pelaksana dari badan-badan Pemerintah tadi menghadapi laporan keuangan yang hanya ada cap dan tanda tangan kantor akuntan segera dapat mengetahui bahwa laporan tersebut tidak benar. (Akuntansi Volume II, No. 9, 1981)


PEMBINA

Ketika tahun 1981 telah menghadapi masa senjanya, sekali lagi profesi akuntan publik tersentak oleh gebrakan dari Pemerintah. Ini berkat Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 302/KMK.07/1981 tertanggal 18 Mei 1981, tentang pembentukan team pembina pelaksanaan keputusan Menteri Keuangan No. 108/KMK.07/1979 tanggal 27 Maret 1979. Walaupun surat keputusan tersebut di atas bertanggal 18 Mei 1981, tetapi ia baru beredar di kalangan akuntan publik (kelihatannya juga di kalangan umum) sekitar bulan Oktober 1981.

Ternyata keluarnya keputusan mengenai pembentukan team pembina tersebut membuat geger kalangan akuntan publik, bak orang kebakaran jenggot. Mereka merasa belum begitu mendapat manfaat dari keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 108 tahun 1979, tetapi sudah akan diatur terlampau banyak. Bagi sebuah organisasi profesi yang pada umumnya segala sesuatu yang berhubungan dengan keahlian profesi tersebut diatur sendiri, hal ini tentu saja dirasakan sangat menyengat.

Di lain pihak dalam mengeluarkan surat keputusannya Pemerintahpun tentu saja tidak begitu gegabah untuk bermaksud campur tangan. Maksud dari surat keputusan tadi adalah menyediakan sarana untuk menerobos apabila terjadi kemacetan baik di pihak akuntan publik maupun di pihak pajak dalam pelaksanaan SK Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 108 tahun 1979.

Tetapi untunglah bahwa setelah mengadakan beberapa kali pertemuan Ikatan Akuntan Indonesia Seksi Akuntan Publik dan Team Pembina SK 108, dapat mendekatkan beberapa jurang perbedaan interpretasi tadi, walaupun semuanya masih tergantung kepada bagaimana pelaksanaannya nanti.

Dalam beberapa hal kerjasama antara Ikatan Akuntan Indonesia Seksi Akuntan Publik dengan Team Pembina SK 108 sebetulnya dapat dilaksanakan dengan erat sekali. Misalnya mengenai pembinaan . Salah satu unsur dari pembinaan adalah menambah pengetahuan baik mengenai teknis maupun konsep tentang pemeriksaan (audit) baik kepada pimpinan maupun staf dari kantor akuntan. Salah satu cara menambah pengetahuan adalah melalui training, seminar, loka karya dan lain-lain. Bagi sebuah kantor akuntan biaya untuk melaksanakan training, seminar, loka karya dan lain-lain tersebut akan dirasakan sangat berat apabila harus ditanggung sendiri (kecuali untuk beberapa kantor akuntan tertentu). Atas dasar ini, alangkah baiknya apabila Ikatan Akuntan Indonesia bersama-sama Team Pembina SK 108 dapat mengkoordinir adanya training, seminar, atau loka karya tersebut bagi para akuntan publik dan stafnya. Dalam hal ini mungkin dapat diikutsertakan kantor akuntan publik yang mempunyai kerja sama (koresponden) dengan kantor akuntan asing.

Tuah yang lain dari SK 302 mungkin adalah semakin baiknya citra organisasi Ikatan Akuntan Indonesia Seksi Akuntan Publik itu sendiri. Sementara ini nampaknya, belum semua akuntan yang memperoleh izin berpraktek untuk mendirikan kantor akuntan swasta oleh Direktorat Akuntan Negara, menjadi anggota Ikatan Akuntan Indonesia Seksi Akuntan Publik. Sementara itu, dilihat dari perkembangan sampai saat ini (diharapkan seterusnya demikian tentu saja), Team pembina akan selalu bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia Seksi Akuntan Publik dalam pelaksanaan tugasnya. Kalau demikian halnya, maka ada kemungkinan bahwa keadaan tersebut akan dapat menarik para rekan akuntan publik yang belum menjadi anggota IAI-SAP ke dalam pangkuan organisasi profesi ini. Apalagi kalau Pemerintah dengan tegas menyatakannya, misalnya (yang paling minimal) : “dalam menetapkan pajak sesuai dengan SK 108, Pemerintah hanya mau menerima laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik anggota IAI-SAP”. Misal yang maksimal adalah apabila Pemerintah mengakui IAI-SAP sebagai satu-satunya organisasi profesi akuntan publik.

Logika dari hal yang disebutkan di atas sebetulnya mudah dan sederhana saja. Agar tugas-tugas pembinaan dan pengawasan dapat secara efektif dan efisien dapat dilakukan, maka berkumpulnya seluruh anggota yang tersebar tersebut dalam satu wadah akan memudahkan pelaksanaan tugas-tugas tersebut. Dan menjadi anggota IAI-SAP itu mudah dan murah saja, cukup dengan uang pangkal sebesar Rp. 50.000 dan iuran Rp. 5000 setiap bulan. (Akuntansi Volume II, No. 10,1981)


ALOKASI, EFISIENSI DAN KOMPETISI

Kemerdekaan Indonesia yang dicanangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menjamin bahwa ketidak adilan akan dihapuskan dari bumi Indonesia. Ini jelas tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam bidang ekonomi, penumbuhan rasa keadilan umum tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaannya rasa keadilan umum yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945 tadi dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (untuk perencanaan jangka menengah) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), untuk perencanaan tahunannya.

Kalau diterjemahkan ke dalam istilah-istilah ekonomi, rasa keadilan itu akan muncul apabila di dalam masyarakat terjadi alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien dan menganut sistem kompetisi yang sehat. Tentang kedua hal tersebut juga jelas terdapat dalam UUD 1945 atau GBHN. Azas-azas yang dipakai dalam pembangunan nasional menurut GBHN misalnya adalah azas manfaat yang menyatakan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara. Alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien adalah kata lain dari kata azas manfaat tadi. Kemudian sistem kompetisi yang sehat terlihat dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Peranan aparatur negara dalam menumbuhkan rasa keadilan umum dalam bidang ekonomi sangatlah besar. Dari pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 terlihat bahwa negara menguasai hampir seluruh sumber-sumber ekonomi yang ada, dan pelaksanaannya tentu saja akan dikerjakan oleh aparatur yang bersangkutan.

Adanya sistem pengawasan yang berfungsi yang mencerminkan terselenggaranya mekanisme kontrol dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomis merupakan syarat yang tidak dapat ditawar lagi agar tercapai rasa keadilan umum. Keharusan akan adanya sistem pengawasan itu juga jelas dijamin dalam UUD 1945 (pasal 23 ayat 5 tentang Badan Pemeriksa Keuangan). Adanya sistem pengawasan yang berfungsi tadi akan menjamin tegaknya aparatur negara yang bersih dan berwibawa, sedangkan aparatur negara yang bersih dan berwibawa itu merupakan pra kondisi untuk dapat dipercaya oleh rakyat.

Namun terasa sekali bahwa perangkat sistem pengawasan yang diciptakan oleh Pemerintah maupun Undang-Undang seperti tersebut di atas masih belum berjalan dengan baik saat ini. Masyarakat Indonesia kelihatannya belum begitu menghargai adanya sistem pengawasan, terutama bagi mereka yang diawasi. Adanya pengawasan seolah-olah dianggap mengurangi kepercayaan pimpinan atas tanggung jawab yang telah dibebankan. Lebih parah lagi, kalau oleh karena sistem administrasinya yang jelek, adanya pengawasan dianggap sebagai musuh yang akan menjatuhkan posisi. Pihak atasan kadang–kadang juga merupakan pelindung yang ampuh bagi bawahan yang diketahui menyimpang. Kalau demikian, adanya sistem pengawasan akan menjadi proforma saja sifatnya.

Syukurlah bahwa Pemerintah telah mencanangkan keinginan politisnya untuk menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa ini. Ini tercermin dalam GBHN yang telah menjadi ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perihal pelaksanaannya tentu saja kita semua wajib memonitor.

Peranan akuntan dalam membantu Pemerintah untuk menciptakan terselenggaranya sistem alokasi sumber ekonomi yang efisien dan sistem kompetisi yang sehat perlu pula diperhitungkan. Pada hakekatnya pelaksanaan alokasi sumber ekonomi yang efisien dan sistem kompetisi yang sehat tadi perlu dilaporkan. Diantara sistem pelaporan yang biasa dilakukan adalah sistem pelaporan keuangan. Akuntan adalah profesi yang diakui oleh masyarakat untuk memberikan pendapat bebasnya tentang kewajaran suatu laporan keuangan. Di sinilah kemudian akuntan dapat membantu Pemerintah. Menciptakan sistem pengawasan yang harus dilakukan oleh Pemerintah tidak berarti bahwa Pemerintah harus melaksanakannya sendiri. Di Amerika Serikat misalnya, tidak jarang pemeriksaan badan-badan Pemerintah dilaksanakan oleh sebuah kantor akuntan publik swasta. Mungkin iklim yang demikian ini perlu dipikirkan di Indonesia saat ini. (Akuntansi Volume I No. 3,1980)


FUTURE SHOCK

Apabila masa 50.000 tahun kehidupan belakangan ini kita bagi-bagi dalam suatu siklus kehidupan yang masing-masing terdiri dari 62 tahun, maka selama jangka waktu 50.000 tahun tadi akan terdiri dari 800 siklus kehidupan. Dan apabila kita renungkan, ternyata dari 800 siklus kehidupan ini, 650 di antaranya dilewati manusia dalam gua-gua. Hanya selama 50 siklus kehidupan yang terakhir ini saja manusia dapat berkomunikasi dari siklus yang satu ke siklus yang lain – setelah ditemukannya bentuk tulisan. Bahkan baru selama 6 siklus kehidupan yang terakhir ini saja manusia melihat adanya media cetak. Pengukuran dengan waktu yang tepat baru dapat dilakukan selama empat siklus kehidupan, sedangkan pengenalan motor elektrik baru berlangsung selama dua siklus kehidupan yang terakhir. Sebagian terbesar dari barang-barang dan jasa yang dikonsumir manusia dewasa ini baru dikembangkan manusia selama siklus kehidupan yang berlaku sekarang (siklus kehidupan ke 800). Apa yang bisa kita baca dari gambaran di atas? Bahwa manusia akhir-akhir ini dihadapkan pada suatu proses perubahan yang sangat cepat. Belum sempat seseorang terkejut oleh karena suatu perubahan yang terjadi, ia sudah dibuat terpana oleh perubahan lain yang ditemukan. Susahnya, ia mau tidak mau harus menghadapi perubahan-perubahan tersebut.

Akibat terlalu cepatnya perubahan tersebut, kadang orang sulit untuk mengadaptasikan dirinya. Kalau sudah demikian, ia akan mengalami future shock syndrome. Alfin Toffler adalah orang yang mengemukakan gejala ini. Pada dasarnya future schock syndrome dialami oleh orang yang tidak mampu mengadaptasikan diri terhadap adanya suatu perubahan. Adalah tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati adanya penolakan-penolakan terhadap usaha-usaha perubahan, apalagi kalau perubahan tersebut bersifat drastis. Seorang menteri yang ingin merubah sistem pendidikan, seorang direktur yang ingin mengadakan reorganisasi, hampir selalu pasti akan dihadapkan pada penolakan-penolakan tadi. Kenapa? Karena setiap perubahan tersebut akan mengakibatkan orang-orang yang terkena harus mengadaptasikan dirinya. Dan belum tentu mereka dapat. Itulah soalnya.

Adakah yang bisa kita (sebagai akuntan) petik dari uraian di atas? Ada! Sebab bidang yang ditangani oleh para akuntanpun juga berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam majalah AKUNTANSI nomor ini disajikan tulisan Theodorus M. Tuannakotta yang membahas tentang resep bagi instansi Pemerintah apabila menghadapi konsultan dan rekomendasi-rekomendasi yang diberikannya. Instansi pemerintah biasanya sangat peka terhadap perubahan. Ia ingin merubah segala sistem yang dianggapnya lemah mulai dari dasarnya, sehingga sekali rubah, habis, yang muncul adalah sistem yang sama sekali baru yang bebas dari kelemahan-kelemahan. Untuk itu ia tidak segan mengundang beberapa konsultan sekaligus ke kantornya dan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan rekomendasi dari para konsultan yang dianggapnya ahli tersebut. Di lain pihak, para konsultan kadang-kadang dalam system designnya terlampau terpaku pada sistem yang sempurna tadi, sehingga yang dihasilkannya adalah sistem yang memang betul-betul sempurna secara teoritis tetapi belum memperhatikan apakah orang-orang yang akan berhubungan dengan sistem tersebut telah siap mental untuk melaksanakannya. Sebabnya, sekali lagi, adalah perubahan yang mendasar tadi, seolah-olah sistem yang sekarang ada begitu jeleknya, sehingga hanya patut untuk penghuni keranjang sampah.

Rupanya memang perlu pendekatan yang lebih humanistis baik oleh kantor konsultan (juga akuntan) dalam merekomendasikan suatu usulan perubahan sistem maupun perusahaan (pemerintah) yang akan merubah suatu sistem yang berjalan di dalam organisasinya. Pendekatan beberapa kantor akuntan yang selama ini dijalankan apabila ia ditunjuk untuk menciptakan (memperbaiki) suatu sistem suatu perusahaan sudah cukup baik. Pendekatan tambal sulam terhadap sistem yang ada, sementara itu dikembangkan sistem-sistem baru yang lebih baik rupanya lebih cocok dengan kondisi Indonesia dewasa ini. (Akuntansi Volume I No.1, 1980.)


POLITIK AKUNTANSI

Ketika negara-negara Arab mengadakan boikot minyak terhadap Amerika Serikat, dunia terbelalak dan baru menyadari betapa kritisnya sumber energi tersebut bagi mereka. Banyak negara kemudian mencoba mengadakan penghematan energi dan mencari jenis sumber energi baru yang dapat menggantikan minyak. Badan-badan nasional dibentuk dengan maksud merumuskan kebijaksanaan energi nasionalnya. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang buru-buru mencanangkan kebijaksanaan energi nasionalnya melalui rencana undang-undang yang diajukan oleh Presiden Carter.

Untuk tujuan merumuskan kebijaksanaan energi tersebut, Pemerintah Amerika Serikat, melalui Dewan Energi Nasional mereka, telah meminta kepada Financial Accounting Standard Board (suatu badan akuntansi nasional di Amerika Serikat yang diakui Pemerintah sebagai satu-satunya badan yang berwenang mengeluarkan prinsip-prinsip akuntansi yang harus diikuti oleh perusahaan-perusahaan di AS) untuk membuat suatu prinsip-prinsip akuntansi yang seragam untuk perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi. Atas dasar permintaan inilah kemudian, FASB mengeluarkan Statement of Financial Accounting Standard (SFAS) nomor 19 yang mengatur prinsip-prinsip serta pelaporan akuntansi yang harus diikuti oleh perusahaan-perusahaan minyak di AS. Tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1979 adalah saat mulai berlakunya prinsip tersebut.

Terlihat dari gambaran di atas, betapa berkuasanya badan akuntansi nasional yang bernama FASB tersebut. Ia bukan hanya sekedar perkumpulan profesi belaka, tetapi sudah melangkah lebih jauh lagi, ke gelanggang percaturan politik. Di lain pihak, terlihat bahwa akuntansi di negara tersebut juga sudah merupakan sarana politik yang mempengaruhi roda perekonomian nasional.

Dalam suatu masyarakat ekonomi yang kompleks di mana masing-masing individu merupakan suatu kesatuan yang lepas dari yang lainnya, adanya suatu patokan-patokan untuk diikuti dan lembaga-lembaga kontrol lainnya merupakan suatu keharusan. Masyarakat yang demikian ini, dalam keputusan-keputusan ekonominya adalah masyarakat individualistis yang kadar kepercayaanya kepada sesamanya semakin menipis. Mereka hanya akan percaya kepada lembaga-lembaga yang menurut mereka memang berwenang dan mereka menghendaki adanya mekanisme kontrol terhadap aturan permainan yang telah ditetapkan dan disetujui bersama. Dalam alokasi sumber-sumber ekonomis, akuntansi akan mampu berperanan sebagai pengontrol tersebut. Kalau dilaksanakan dengan baik, akuntansi akan mampu untuk berfungsi sebagai sarana penunjang alokasi sumber-sumber ekonomi nasional secara efisien.

Dibandingkan dengan perkembangan di negara-negara yang telah maju, peranan akuntansi di Indonesia masih jauh ketinggalan. Kita masih belum mempunyai suatu badan akuntansi nasional yang lebih berpengaruh dan berwibawa. Di samping itu, apresiasi masyarakat terhadap profesi akuntansi itu sendiri masih belum begitu besar. Pengusaha masih lebih percaya kepada instink usahanya dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh suatu sistem akuntansi. Kalau toh mereka mau menggunakan jasa-jasa akuntansi, itu hanya dikarenakan oleh adanya suatu keharusan. Tetapi memang segala kebiasaan dalam masyarakat tersebut bermula dari adanya suatu keharusan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga yang menurut mereka berwenang dan dalam hal ini Pemerintah. Sistem pelaporan yang baik serta keharusan adanya pelaporan itu sendiri di Inggris baru ada setelah Pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mengatur sistem pelaporan keuangan pada tahun 1925. Demikian juga berwibawanya prinsip-prinsip akuntansi di Amerika Serikat bermula dari persetujuan antara New York Stock Exchange dan American Institute of Certified Public Accountant pada tahun 1930 untuk menetapkan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima. Dalam konteks ini, adalah dihargai sekali sikap Pemerintah Indonesia yang mengangkat kepercayaan masyarakat terhadap para akuntan, dengan misalnya Paket 27 Maret 1979. Kalau paket tersebut berhasil, tidak hanya kepercayaan masyarakat saja yang meningkat, tetapi beban pemerintah cq aparat perpajakan juga akan jauh berkurang dengan dibarengi efisiensi yang meninggi. Adalah ideal misalnya apabila paket tersebut lebih dikuatkan dengan mengharuskan laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang mempunyai omzet tertentu atau assets tertentu diperiksa oleh akuntan publik terlebih dahulu sebelum laporan tersebut dipergunakan untuk penetapan pajak. Kita memang sedang mencoba untuk mengejar ketinggalan kita di bidang akuntansi dalam jangka waktu yang relatip pendek dibandingkan dengan jangka waktu perkembangan di negara asalnya, dan pengejaran tersebut akan lebih cepat dapat terlaksana apabila masyarakat dan Pemerintah ikut menunjangnya. (Akuntansi, No. Perdana, 1979)


MARAKESH

MARAKESH tentulah kota bersejarah. Di kota ini perjanjian Uruguay ditandatangani, 1994. Maka duniapun berbalik. Globalisasi memperoleh wadahnya. General Agreement on Trade and Tariff (GATT) dan General Agreement on Trade and Services (GATS) resmi sudah berlaku. Walau masih harus diratifikasi oleh masing-masing negara penandatangan. GATT tidak lagi jadi bahan lelucon sebagai General Agreement on Talk and Talk. Tidak mengherankan. Sebab pembicaraan mengenai GATT sudah lama dilakukan. Dan tak pernah mendatangkan hasil. GATT sendiri pertama kali ditandatangani tahun 1947.

DENGAN ditandatanganinya perjanjian Uruguay, dunia mulai memasuki era perdagangan bebas. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya adalah perlakuan sama untuk semua negara, persaingan sehat, kepastian tarif dan larangan kuota. Untuk GATS, perlakuan sama juga berlaku antara pemasok jasa luar negeri dan dalam negeri. Di samping itu, barrier to entry serta barrier for information bagi pemasok-pemasok jasa dari luar negeri harus dihilangkan. Cakupan GATS adalah yang berkenaan dengan cross border movement of services, consumers dan factor of production. Negara-negara penandatangan perjanjian tersebut diberi waktu mempersiapkan diri selama 10 tahun untuk GATT dan 15 tahun untuk GATS.

DAMPAK dibukanya sektor jasa terhadap Indonesia layaklah dicermati. Sejak awal, sektor ini merupakan biang defisit neraca pembayaran. Surplus yang diraih perdagangan barang dalam transaksi berjalan habis dilalap oleh defisit di sektor jasa. Maka, jika sektor itu dibuka, akankah ketimpangan itu makin meruyak? Apalagi, sektor/subsektor yang ditawarkan Indonesia adalah sektor/subsektor penyumbang utama defisit yang terjadi. Di antaranya telekomunikasi, dan perhubungan laut. Kelemahan kita adalah kurangnya jaringan (networking), lemahnya teknologi, keahlian sumberdaya manusia dan pengetahuan tentang hukum di negara-negara partner dagang kita.

UNTUK sektor jasa keuangan Pemerintah Indonesia telah menawarkan 19 transaksi untuk diikutkan dalam GATS. Termasuk di dalamnya adalah jasa akuntansi. Orang kemudian membayangkan. Akuntan Philipina, India dan tentu saja Amerika Serikat akan berbondong-bondong ke Indonesia. Membuka kantor sendiri. Sementara itu, akuntan Indonesia harus cukup puas masuk ke Papua Nugini, atau negara-negara miskin di Afrika. Ini tentu saja hanya jokes! Tetapi, akan sebegitu parahkah dampak GATS terhadap profesi kita? Akan kiamatkah profesi akuntan publik kita?

SEBELUMNYA perlu dicatat bahwa de facto telah banyak akuntan luar negeri yang bekerja di Indonesia. Tak hanya sekadar akuntan intern. Tetapi, juga mereka yang bekerja sebagai akuntan publik. Efek GATS adalah bahwa akuntan publik asing tersebut dapat membuka kantornya langsung di Indonesia. Tanpa harus bekerja sama dengan akuntan publik lokal. Pertanyaan pertama adalah akuntan dari negara mana yang akan tertarik ke Indonesia ?. Kemudian, pertanyaan kedua adalah dari akuntan-akuntan yang tertarik ini, akuntan yang bagaimana yang punya kemampuan untuk masuk ?. Dua pertanyaan ini dapat menjawab pengaruh GATS terhadap profesi akuntan publik kita.

PERTANYAAN pertama dapat dijawab dengan konsepsi bahwa accounting follows the trade. Pepatah ada gula ada semut berlaku di sini. Artinya hanya akuntan dari negara yang banyak melakukan kegiatan yang memerlukan jasa akuntansi/keuangan dengan Indonesia yang akan tertarik untuk masuk. Kegiatan itu dapat berupa perusahaan Indonesia yang mencari dana di luar negeri atau perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasi di Indonesia. Pusat-pusat dana yang banyak dilirik perusahaan Indonesia adalah Amerika Serikat, beberapa negara Eropa (London, Luxemburg), Hong Kong, Tokyo dan Singapura. Negara-negara asing yang banyak melakukan investasi di Indonesia adalah Amerika Serikat, beberapa negara Eropa (Jerman, Perancis, Inggris, Belanda), Jepang, Taiwan, Hong Kong dan Singapura. Jadi peta sudah hampir jelas. Kira-kira akuntan negara mana yang tertarik.

PERTANYAAN kedua dapat ditinjau dari segmen pasar yang akan dibidik oleh akuntan-akuntan asing tersebut. Ketika Indonesia baru mulai membangun. Ketika belum ada perusahaan-perusahaan swasta Indonesia yang cukup terpandang di mata pemasok dana asing. Ketika itu segmen pasar yang dikerubuti akuntan-akuntan asing adalah investor-investor asing yang datang ke Indonesia. Dalihnya adalah kebutuhan pelaporan konsolidasi dan kontrol oleh perusahaan induk. Dewasa ini banyak perusahaan-perusahaan swasta Indonesia sudah berkembang menjadi konglomerasi yang cukup besar. Kebutuhan dana mereka sering tak cukup dapat dipasok oleh sumber dalam negeri. Di samping itu, gelombang privatisasi melanda badan-badan usaha milik negara. (Perlu dicatat bahwa privatisasi tak selalu harus berarti menjual saham kepada masyarakat).Kalau toh akuntan asing ingin berkiprah sendiri di Indonesia, nampaknya, kedua segmen pasar itulah yang akan dijadikan tumpuan. Pada dua segmen pasar ini akuntan asing merasa mempunyai competitive advantage. Networking, keunggulan teknologi hubungan dengan pasar pemasok dana serta tentang hukum internasional. Bagaimana dengan segmen pasar menengah dan kecil ? Kebutuhan segmen pasar ini, terutama adalah untuk keperluan lokal. Pajak, bank dan pemenuhan peraturan lokal lainnya. Pada segmen pasar ini akuntan domestik mempunyai competitive advantage. Dari segi pengetahuan dan hubungan, mereka unggul.

KALAU sudah begini, sebegitu parahkah dampak GATS terhadap profesi akuntan publik kita ?. (April, 1996).